Sebagai pembuka, Buya Hamka: Vol. 1 (keseluruhannya merupakan trilogi dengan dua tahap selanjutnya yang akan dirilis tahun ini), sutradara Fajar Bustomi (triloogi Dilan, Mariposa, 12 Cerita Glen Anggara) menampilkan sebuah biopik dari salah satu tokoh Islam terbesar di Indonesia dengan mendamaikan hati dan menjauhi pola kebanyakan genre serupa yang sebatas meraup pundi-pundi rupiah, kentara filmnya dibuat dengan penuh hati dan kehati-hatian yang tinggi, untuk itu pula filmnya gampang meraih atensi sedari paruh awal bergulir.
Saat itu, Hamka (Vino G. Bastian) tengah mendekam di penjara Cimacan, Sukabumi, Jawa Barat, seketika dibangunkan oleh petugas saat kedatangan sang istri, Siti Raham (Laudya Chyntia Bella) bersama ketiga anaknya (diperankan oleh Ajil Ditto, Roy Sungkono dan Yoga Pratama). Mereka tak banyak berinteraksi, tatapan masing-masing sudah mencuatkan sebuah kerinduan yang dalam, setelah berikutnya dicairkan kala sang istri membawakan makanan khas Padang dan meminta Hamka untuk memakannya.
Selanjutnya, setting berpindah pada tahun 1933 ketika Hamka bersama Siti Raham menetap di Makassar dengan tujuan memajukan organisasi Muhammadiyah bahkan harus berpindah ke Medan demi menjadi kepala pimpinan Majalah Pedoman Masyarakat. Sebagaimana biopik kebanyakan, pergantian tahun nantinya merangkum sebuah perjalanan yang turut memberikan sebuah konflik baru bagi tokoh inspirasional yang mempunyai nama asli H. Amir Malik Karim Amrullah (disitulah akronim alias nama pena HAMKA didapat).
Persentasinya mungkin tak selalu berjalan mulus, adakalanya naskah buatan Alim Sudio (12 Cerita Glen Anggara, Gita Cinta dari SMA, Perfect Strangers) bersama Cassandra Massardi (The Fabulous Udin, Oh Baby, Ashiap Man) bertutur secara lirih dan berambisi merangkum semuanya dalam rentetan waktu singkat. Meskipun demikian, keputusan tersebut menghasilkan sebuah momen intim yang dilipatgandakan ketika filmnya banyak menyoroti meja kerja seorang Hamka bersama Siti Raham pula mesin ketiknya, menghasilkan sebuah karya fenomenal seperti Di Bawah Lindungan Ka'bah hingga Tenggelamnya Kapal van Der Wijck.
Satu hal pasti yang dimiliki oleh Buya Hamka ialah karakterisasi karakternya yang luar biasa menginspirasi, bahkan dapat diterapkan secara universal tanpa melibatkan embel-embel tokoh agama di dalamnya. Seperti contoh tatakala ia menyikapi jas yang identik dengan pakaian kafir, Hamka dengan lugas menjawab "tidak usah mengharamkan apa yang seharusnya tak haram", memberikan pemahaman akan kebolehan berpoligami sebagaimana yang tertuang dalam Surah An-Nisa dengan membaca ayat lanjutannya hingga menjadikan roman lewat tulisan buatannya sebagai sarana dakwah yang tak konvensional, karena sejatinya bahasa dakwah tak harus selalu disampaikan di mesjid atau surau, dengan kata-kata indah justru akan jauh lebih mengena.
Penggambaran Hamka yang idealis pun tak lantas menjadikannya berpikiran kolot, salah satu adegan menampilkan Hamka yang menolak uang pemberian masyarakat setelah ia melakukan cermah. Ia beranggapan bahwa ceramah bukan lahan memanen rupiah, tapi setelah perkataan salah satu jemaat sekaligus sahabat (diperankan oleh Marthino Lio) yang lebih mengutamakan kebutuhan istri dan anaknya, Hamka kemudian luluh dan menukar buku karangannya dengan uang. Karakterisasi semacam ini dituturkan secara kontuniti tanpa harus tampil preachy.
Narasinya sempat menampilkan agresi Belanda dan Jepang yang masih melakukan ekspansi di tanah air, Hamka bahkan sempat dicap sebagai penjilat Jepang setelah ia berhubungan dengan Gubernur Nakashima (Ferry Salim). Padahal apa yang ia lakukan demi memperluas dan memajukan agama, Hamka pun menolak membungkukkan badan ke matahari di hari istimewa kepercayaan Jepang, yang enggan dieksplorasi lebih oleh naskahnya dalam sebuah upaya penguatan akan dampak yang dihasilkan.
Beberapa karakter memang masih disimpan dan dirahasiakan, termasuk kehadiran seorang wanita berkerudung merah yang ia temui di Kapal (diperankan oleh Mawar de Jongh), memasuki akhir banya sebuah ketergantungan yang disimpan dan membuat penonton penasaran, untungnya semuanya ditutup secara rapi meski meninggalkan beberapa transisi kasar dalam pemaparannya, setidaknya itu tak seberapa mengganggu dengan apa yang telah dilalui filmnya.
Tata artistik, desain produksi hingga segala visualnya (meski berberapa terlihat tempelan) jelas tampil tak main-main. Beruntung, Buya Hamka disokong oleh penampilan mumpuni para karakternya meski dalam beberapa balutan prostetik yang turut melekat di wajah. Vino G. Bastian mengukuhkan bahwa dirinya adalah aktor serba bisa, detail kecil semacam olah bahasa tubuh mampu ia bedakan dalam perbedaan usia Hamka, menyusul berikutnya adalah Laudya Chyntia Bella yang kembali berakting dan bakatnya sama sekali tak pernah luntus, dalam diamnya Bella mampu mentransfer ragam emosi kecil tertahan yang selalu ia ganti dengan ketenangan. Tak ketinggalan dengan Donny Damara sebagai Haji Rasul, yang turut mencicipi prostetik, aktor gaek ini sudah tak diragukan lagi kemampuannya.
Di luar segala kekurangannya, saya adalah salah satu orang yang menantikan volume berikutnya yang akan mengambil skala lebih luas (volume 2 menyoroti masa perjuangan Hamka dan karir politiknya, sementara volume 3 mundur ke belakang, mengenalkan kita akan masa Hamka semasa muda). Buya Hamka adalah tontonan penting yang mesti disaksikan, meski untuk menilainya secara utuh harus ditangguhkan, pembukanya memberikan sebuah harapan bahwa sajian biografi tak harus melulu sebatas menampilkan pengadeganan membosankan nan konvensional, Buya Hamka membuktikan bahwa sajian seperti ini ternyata mampu mendamaikan hati.
SCORE : 3/5
0 Komentar