Selaku remake, Gita Cinta dari SMA yang merupakan hasil adaptasi novel gubahan Eddy D. Iskandar sekaligus film berjudul sama pada tahun 1979, di mana masyarakat Indonesia mengenal karakter ikonik tersebut lewat performa Rano Karno dan Yessy Gusman. Berbeda dengan Galih dan Ratna (2017) yang merupakan adaptasi lepas, Gita Cinta dari SMA sejatinya masih setia dengan materi aslinya, yang berarti bukan sebuah masalah karena pada dasarnya naskah buatan Alim Sudio bertugas sebagai pengenalan kembali romansa dua sejoli yang menjalin cinta di masa SMA.
Ratna Suminar (Prilly Latuconsina) adalah siswa pindahan asal Indramayu yang sudah merasakan jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Galih Rakasiwi (Yesaya Abraham), pria sederhana sekaligus paling populer di sekolah yang selalu setia dengan sepeda onthel-nya. Perlahan tapi pasti, ketertarikan Ratna akan Galih mulai tumbuh sebuah perasaan cinta, begitupun sebaliknya.
Dinahkodai oleh Monty Tiwa (Critical Eleven, Hidayah, dwilogi Keramat), Gita Cinta dari SMA selain kembali menghadirkan sebuah nostalgia, membentuk sebuah romantika sederhana yang tak sebatas bergumam dalam kata (bentuk puisi adalah sebuah pengecualian). Saya menyukai bagaimana Monty membangun sebuah romantisme itu sendiri yang sebatas menangkap dua sejoli yang saling bertukar pandang, memberikan perhatian tanpa terkungkung ucapan verbal yang mana ini lebih natural dan mudah diterima kala seseorang tengah di mabuk asmara.
Bersetting tahun 1980-an, Gita Cinta dari SMA mampu menyulap masa kini dengan segala pop culture pada zamannya, mulai dari kostum, bangunan hingga penggunaan bahasa baku yang tak pernah terasa kaku. Memang, beberapa inkonsistensi senantiasa menjangkiti, meski pada akhirnya ini tak seberapa dengan pencapaian filmnya yang melebihi.
Jika pada originalnya perbedaan suku (Jawa-Sunda) yang jadi akar permasalahan, Gita Cinta dari SMA versi modernnya menjadikan kasta hingga status sosial sebagai tembok penghalang, yang mana ini akan lebih relevan di masa sekarang dan juga mendatang. Romansa Galih dan Ratna harus terhalang restu orang tua, terlebih ayah Ratna (Dwi Sasono) amat menentang hubungan keduanya, sementara alasan klise seputar ayah ingin anaknya bahagia dijunjung tinggi oleh para lelaki pemuja budaya patriarki.
Ini berarti mengharuskan para wanita senantiasa menuruti kemauannya, termasuk ibu Ratna (Unique Priscilla) dan Ayu (Putri Ayudya), tante Ratna yang selalu mendukung keputusannya. Saya menyukai bagaimana Alim Sudio menjadikan karakter perempuan menyentuh ranah pemberdayaan wanita yang meski terkunkung keinginan, ia mempunyi kekuatan yang selalu siap untuk ditampilkan. Pasif bukan berarti menyerah maupun pasrah, tetapi ada waktunya semuanya siap untuk tercurah.
Prilly Latuconsina menghidupkan karakter remaja yang meledak-ledak, yang mana ia sukses tampilkan di paruh kedua filmnya saat "momen ruang tamu" menjadi titik balik bagi filmnya, sementara Unique Priscilla seperti biasa, piawai mengatur emosi yang tertekan, Putri Ayudya membuktikan bahwa dirinya adalah aktris harapan masa depan. Sementara Dwi Sasono, bersiaplah untuk menerima beragam hujatan dengan tempramen dan diktatornya yang begitu menyebalkan.
Musik pun banyak berperan mengiringi gita cinta yang tak seindah harapan, ketika Apatis milik Benny Soebardja senantiasa menguatkan sebuah pengisahan sekaligus memberikan dampak yang lama diingatan, Galih dan Ratna membawa nuansa baru akan indahnya cinta pada masa remaja, yang juga jadi ajang pamer kreativitas seorang Monty Tiwa dalam menyentuh ranah musikal yang manis, romantis, pula menggemaskan.
Di awal pertemuan Galih meminta Ratna untuk membaca buku Roro Mendut, menyebut novel tersebut sebagai salah satu bentuk perjuangan cinta yang sesungguhnya, ini memberikan sebuah dampak bagi narasi pula karakterisasi Ratna sendiri yang digambarkan penuh perjuangan untuk menggapai mimpi dan kisah cintanya dalam sebuah kebebasan. Namun sebagaimana kisah Roro Mendut dan Pranacitra itu sendiri, filmnya memberikan sebuah dramatisasi yang mengamini apa yang menjadi sebuah tragedi. Gita Cinta dari SMA secara lugas menapaki sebuah realita yang tak seindah kenyataannya, namun bukan berati untuk menyerah maupun pasrah, sebagaimana pemikiran remaja yang mulai berkembang menjadi dewasa. Mari kita nantikan Puspa Indah Taman Hati yang juga akan rilis tahun ini.
SCORE : 4/5
0 Komentar