Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - DEATH KNOT (2021)

 

Diproduseri oleh tokoh kenamaan di dunia perfilman termasuk Anggy Umbara dan Ismail Basbeth, Death Knot (Tali Mati a.ka Pulung Gantung) merupakan debut bagi produser sekaligus aktor Cornelio Sunny, yang telah terlebih dahulu diputar di Udine Far East Film Festival, Italia hingga Bucheon Film Festival Korea Selatan dan terakhir sempat tayang di Jakarta Film Week ini mengambil pendekatan yang berbeda di mana unsur noir begitu pekat disamping memadukan sebuah dualisme yang saling bertabrakan, mitos dan fakta, tradisional dan modern, pendidikan dan kepercayaan hingga individualisme dan takdir.


Pasca mendengar kematian sang ibu (Djenar Maesa Ayu) yang melakukan gantung diri, dua kakak-beradik, Hari (Cornelio Sunny) dan Eka (Widika Sidmore) bersama Adi (Morgan Oey) tunangannya, kembali ke desa masa kecilnya di sebuah pedesaan terpencil. Kedatangan mereka disambut sinis oleh para warga yang meyakini bahwa sang ibu merupakan pelaku praktisi ilmu hitam dan dukun yang telah melangsungkan perjanjian dengan Iblis. Akibatnya, pengurusan lahan makam pun menemui kendala, disamping keinginan masyarakat yang menginginkan jenazah sang ibu untuk dibakar.


Kini, tersisa rumah peninggalan sang ibu yang mengharuskan Hari beserta Eka memutuskan untuk mencari pengurus rumah tersebut karena menolak untuk dijual. Dari sini, serangkaian informasi pun didapat di mana sering terjadi peristiwa gantung diri secara masif setahun sekali, masyarakat menyebutnya sebagai "panen" yang mana membuat sang pelaku semakin kuat, ini tentu merujuk pada ibu Hari yang konon merupakan dalang utama sedari leluhurnya lahir.


Ditulis naskahnya oleh Cornelio Sunny bersama Ike Klose, Death Knot menolak untuk semata mengandalkan jumpscare sedari filmnya dibuka yang menampilkan performa singkat namun kuat seorang Djenar Maesa Ayu. Sunny dan Ike lebih mengandalkan dialog yang mengundang sebuah rasa penasaran untuk setelahnya bermain situasi, sederhana namun mampu mengikat berkat barisan dialog ringan pula kaya dan berani tampil beda ditengah segala trope usang miliknya. Entitas dalam film ini bukanlah hantu maupun setan, melainkan disebut Dewa dalam bentuk patung zaman megalitikum yang eksistensinya sudah melekat sedari dulu.


Tak ada penampakan, Sunny memainkan paranoia lewat ekspresi aneh para aktornya yang bermain gemilang, memamerkan gerakan serta lekuk tubuh aneh yang mampu membuat bulu kuduk merinding, salah satu contoh efektif adalah yang melibatkan Morgan Oey di depan pintu pada waktu malam hari, sementara bidikan kamera Gunnar Nimpuno (Sebelum Iblis Menjemput, Bebas) menangkap dibelakang punggung Cornelio Sunny (back-held).


Sementara itu, scoring hasil gubahan Dicky Permana selalu meresahkan dalam balutan color grading kekuningan yang khas. Bukan tanpa cela, beberapa adegan kadang berjalan pelan dan cenderung lambat-meski setelahnya ditebus oleh sebuah gebrakan yang acap kali tak terasa-namun tepat sasaran. Kelemahan Sunny adalah perihal transisi adegan yang beberapa diantaranya kurang mulus, ini pun yang terjadi pada konklusi yang seolah kurang sebuah hentakan.


Meski demikian, tak lantas mengganggu keseluruhan narasi yang setia tampil berisi dengan sedikit kejutan dalam bentuk eliminasi prediksi genre. Sunny banyak terinspirasi oleh Lucio Fulci yang menghantarkan sebuah musibah secara realistis dan diluar dugaan. Konklusinya menampilkan hal demikian dengan sedikit tambahan dramatisasi yang terlalu dipaksakan hadir yang untungnya tak tampil terlalu larut. Seperti judulnya, Death Knot adalah tali mati yang melingkar dan tak bisa dilepas begitu saja.


SCORE : 3.5/5

Posting Komentar

0 Komentar