Judulnya boleh saja merajuk pada dongeng fantasy khas fairy tale, filmnya sendiri kental akan nuansa horor sedari pembukanya yang menampilkan sebuah pembunuhan cukup brutal meski disajikan secara off-screen, menyusul setelahnya adalah penampakan hantu yang meski tampil dengan riasan sederhana, mampu membuat saya memundurkan kursi dan sedikit berpaling dari layar. Dampak seperti demikian yang saya harapkan dari keseluruhan Cinderella-yang terjun bebas pasca setengah jam filmnya berjalan.
Pembunuhan yang menghilangkan kepala korban terjadi di sebuah hutan yang mengharuskan polisi turun tangan dan melakukan investigasi di mana jejak pembunuhan mengarah pada Akira (Raai Laxmi) yang seketika dijadikan tersangka-meski Akira sendiri bersikukuh tak melakukannya. Dari sini timbul ketertarikan kala filmnya mengambil ranah investigasi yang menarik untuk disimak. Sayang, kadar efektivitasnya berjalan tak berlangsung lama dan digantikan dengan obrolan sekelompok anak muda nihil substansi.
Merupakan debut bagi sutradara Vinoo Venketesh yang juga turut menulis naskah, Cinderella adalah usaha ambisius mewakili kalimat "every story has a dark side" yang penerapannya sebatas tambal sulam, dipaksakan dikaitkan dengan dongeng klasik dalam wujud reinkarnasi. Seharusnya, ini bisa tampil menarik alih-alih berdiri sendiri.
Alkisah di masa lampau, mirip kisah dongeng Cinderella di mana Tulashi (juga diperankan oleh Raai Laxmi), gadis muda yang dijual oleh ayahnya yang alkoholik dan menewaskan sang ibu. Tulashi dijadikan pembantu bagi pemiliknya (Ujjayinee Roy) yang merupakan pedagang hewan liar ilegal. Mimpi Thulasi sederhana, ialah memakai gaun Cinderella yang dijual disebuah toko yang untuk membelinya mengharuskannya menabung banyak. Bisa ditebak, hadir seorang pria tampan yang jatuh hati kepadanya dan kakak tiri jahat digantikan dengan sang majikan, Ramya (Sakshi Agarwal).
Tokoh dimasa lampau hadir dengan penokohan yang berbeda (meski karakterisasi hampir sama untuk sang antagonis), yang menjadi titik balik dari segala balas dendam tragis masa lalu, tak perlu berpikir lama pun kita sudah menebak bahwa sang antagonis kelak akan menemui ajalnya. Cinderella tak banyak menerapkan modifikasi terkait urusan teror dan horor. Bahkan beberapa diantaranya tampil formulaik, semisal proses eksorsisme atau kultus pun sengaja diterapkan untuk memenuhi konklusi.
Konklusinya berpotensi tampil segila mungkin ketimbang penuh kecanggungan, yang menandakan bahwa Venketesh belum piawai merangkai urusan teror bertempo cepat. Belum sampai disitu, sebuah twist nihil build-up ditampilkan secara paksa ditengah kritisi terhadap pihak berwenang yang tunduk akan uang. Sungguh Cinderella adalah ambisi yang menyusut bak sekumpulan benang kusut.
SCORE : 2/5
0 Komentar