Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - RESIDE (2018)

 

Selaku film bertema eksorsisme, Reside bisa tampil memuaskan dengan menerapkan formula straightforward horror khas Thailand yang lebih mengandalkan kengerian ketimbang jumpscare serampangan. Setidaknya itu merujuk pada film rilisan awal hingga pertengahan tahun 20-an, yang kini semakin diabaikan karena memilih meninggalkan dan fokus dengan metode jumpscare kebarat-barat-an. Reside termasuk ke dalam opsi kedua, di mana horornya sendiri tersusun atas non-stop jumpscare berupa ragam karakter yang bergiliran kerasukan arwah penasaran. Semakin melelahkan adalah bahwa kehadirannya dapat begitu mudah diprediksi berbekal pola sama yang terus diulang kembali.


Pembukanya menyulut atensi kala penggunaan kamera close-up menyoroti sebuah tengkorak, mengingatkan saya pada gaya Ari Aster dalam Hereditary (2018). Setelahnya gambar berganti menjadi sorot mata seorang wanita yang belakangan disebut Madam (Tarika Tidatid yang kembali ke layar setelah terakhir kali terlihat dalam The Legend of Suriyothai). Madam adalah pemimpin organisasi Infinity Spiritual Center yang memberikan bimbingan terhadap mereka yang mempelajari dunia roh. 


Bersama dengan para pengikutnya yang terdiri dari: Nop (Peerapol Kijreunpiromsuk), Krit (Teerawat Mulvilai), Kruea (Jarunun Phantachat), Sroy (Ploy Sornarin) dan Prang (Natthaweeranuch Thongmee) mereka melakukan sebuah ritual pemanggilan roh yang dimaksudkan untuk dipindahkan ke dalam tubuh yang ditutupi kain putih di sebuah mansion tua di tengah hutan. Ritual itu menemui sebuah kegagalan setelah Madam kerasukan, yang kemudian turut memanggil tiga arwah penasaran yang kemudian diketahui adalah sepasang keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak.


Setelahnya, mereka di landa kepanikan dan kebingungan. Dalam suasana hujan, datanglah Dej (Ananda Everingham), anak semata wayang Madam yang melewatkan ritual pemanggilan. Dej kemudian mengambil alih pimpinan sang ibu yang tak sadarkan diri dan menghadpi gangguan yang menimpa para anggota untuk kemudian mencari jawaban asal-muasal arwah itu berasal.


Ditulis dan disutradarai oleh Wisit Sasanatieng yang dikenal dalam debutnya lewat Tears of the Black Tiger-nya mencatat sejarah perfilman Thailand dengan menjadi perwakilan pertama yang dipilih untuk Festival Film Cannes, namanya kemudian mulai dipertimbangkan rumah produksi, yang sampai tulisan ini dibuat telah menggarap sebanyak sembilan film, termasuk dua diantaranya adalah horor lewat The Unseeable (2006) dan Senior (2015). Saya mungkin melewatkan dua film horornya, namun menilik kesimpulan dari Reside, Sasanatieng mungkin belum piawai menggarap genre ini melebihi aksi, drama dan romansa.


Seperti yang telah saya singgung sebelumnya, kesuluruhan Reside adalah parade jumpscare yang sepertinya harus dilakukan masing-masing karakternya (terkecuali Dej). Ketika salah satu karakter kerasukan, tak lama kemudian karakter lainnya kerasukan. Siklus tersebut saling bergantian dan lebih parahnya lagi berulang. Alhasil, sulit menemukan sebuah substansi utama dalam film ini selain dipaksa mendengarkan voice-over bernada lirih seputar maksud dan tujuan roh yang menolak sepenuhnya untuk memudar.


Dalam penerapannya, Sasanatieng menerapkan segala kegilaan horor yang sesekali menyentuh ranah gore. Meski itu berarti penampakan karakternya yang sebatas menampilkan aksi yang ditangkap lewat kamera patah-patah pula mengandalkan sepenuhnya terhadp extreme soflens. Tak lebih. Pun beberapa pelakonnya kentara tampil kurang natural dan tak nyaman memainkan ragam gerakan meloncat, menjambak, hingga kayang sekalipun. Singkatnya, Reside banyak tampil konyol ketimbang menakutkan.


Ada sebuah intensi mengenai metafora terhadap pohon yang sempat ditampilkan lewat salah satu karakternya yang berujung pada sebuah kegagalan akibat ketiadaan penjelasan dan pada akhirnya sengaja dijelaskan. Ini tentu mengurangi kenikmatan akan sebuah pemahaman yang seharusny bisa penonton pahami sendiri. Pemahaman tersebut berujung melukai narasi pula mencederai twist.


Twist-nya sendiri tampil generik. Jika anda adalah penikmat tontonan nge-twist, sedari film bergulir, mudah untuk menyimpulkan bahwa salah satu karakter adalah yang dipilih untuk dihidupkan kembali. Pun, menjelang akhir Reside mengejawantahkan sebuah latar belakang cerita yang telah usang, yang kini formulanya kerap dipakai untuk FTV daripada rilisan film yang ditujukan untuk bioskop.


Reside adalah reuni bagi Ananda Everingham dan Natthaweeranuch Thongmee, dua pelakon utama untuk salah satu film horor terbaik buatan Thailand, Shutter (2004). Keduanya memainkan karakter bertolak belakang yang sayang kurang dikembangkan. Sebatas dijadikan karakter yang hanya berfungsi ketika twist ditampilkan tanpa sebelumnya diberikan kepentingan. Keduanya patut mendapat peran yang lebih superior, ketimbang harus terjebak pada pola ngalor.


SCORE : 1.5/5

Posting Komentar

0 Komentar