Entah....entah harus mulai
dari mana saya memulai kata-kata, menyaksikan Arwah Noni Belanda adalah sebuah
pengalaman paling berat dan melelahkan, lebih berat ketika melihat mantan
jadian sama sahabat dekat dan lelah yang tak sebanding dengan lari marathon 20
kali putaran. Singkatnya, ini adalah sebuah pekerjaan yang membuat seorang
Dilan pun tak akan kuat memikulnya.
Kisahnya sendiri mengenai
Sarah Astari (Sara Wijayanto) yang baru saja pindah rumah bersama sang suami,
Kevin (Ferdian Aryadi) dan turut serta memboyong sang buah hati, Amelie (Nayla
D. Purnama) ke sebuah rumah yang diberikan sang bos sebagai fasilitas
pekerjaannya. Untuk mengetahui pekerjaannya, saya kebingungan mencerna apa
pekerjaan utama Sarah yang nihil sebuah penjelasan dalam proses introduksi.
Hingga sebuah dialog Sarah dengan Kevin membicarakan perihal menulis, saya baru
paham pekerjaannya adalah seorang penulis novel horor.
Sarah diperintah untuh
menulis cerita mengenai sosok Hellen Van Stolch (Milena Tunguz), seorang noni
Belanda yang tewas mengenaskan pada tahun 1834. Tentu, dari sini, naskah hasil
tulisan King Javed (Angker, Tujuh Bidadari) sudah terendus arahnya, Sarah
beserta keluarga nantinya akan diganggu oleh arwah Hellen yang menginginkan
sebuah kebenaran terhadap ceritanya.
Saya tak mempermasalahkan
jika Arwah Noni Belanda memilih jalur formulaik dalam pengisahannya, asalkan
eksekusi yang dihasilkan memberikan sebuah penebusan setimpal. Namun,
menginginkan sebuah kata “setimpal” rupanya bak pungguk yang merindu rembulan.
Begitu jauh dan sulit berharap pada penyutradaraan Agus H. Mawardy alias Agus
Pestol (Tebus, Valentine) yang penuh dengan kemalasan.
Ya, sebuah film memang tak
lepas dari sebuah kesalahan-sekalipun itu film yang bertaraf bagus sekalipun.
Namun, Arwah Noni Belanda sangat suka untuk dimaafkan-meski berbekal durasi 75
menit miliknya-yang hanya tersusun atas sebuah repetisi adegan mimpi yang
ditampilkan lebih dari enam kali. Padahal flashback mengenai kejadian asli
Hellen Van Stolch tak lebih dari 10 menit, mudah menyebut bahwa Agus Pestol
adalah seorang yang lalai alias lebay, itu terbukti pula pada tata kamera yang
bergerak lama-tanpa adanya sebuah esensi lebih selain sebuah penguluran.
Deretan jumpscare-nya tak
seberapa membantu, selain medioker, terornya sama sekali tak menyulut sebuah
ketegangan maupun keseraman-yang ada hanyalah sebuah aksi menggelikan yang tak
henti menyulut tawa berlebihan akibat sebuah kebodohan yang dilakukan.
Diperparah lewat tata rias murahan-yang hanya sekedar mengandalkan pensil alis
sebagai alat penebal mata-yang menadai seorang anak kerasukan. Dari sini saya
ingin bertanya, apakah biaya make-up sebegitu mahalnya-hingga tak sempat
membeli perlengkapan lainnya?
Mengamini pernyataan
tersebut, dialognya berisi dari barisan kalimat yang tak kalah menggelikan
lewat pembawaan yang luar biasa kaku nan penuh kesalahan dalam pengucapan,
contohnya ketika karakter Kevin mengutarakan sebuah alasan atas
ketidakpercayaannya terhadap takhayul-yang lantas mengantarkannya pada sebuah
pengucapan dialog bahasa Inggris penuh kesalahan dan kekeliruan, ia pun tak
bisa membedakan membacakan “devil” dan “evil”.
Ingin rasanya saya
menyarankan kepada Kevin untuk mengambil les bahasa Inggris ditengah status-nya
yang merupakan seorang pegawai kantor, pun saya juga ingin mengajari Sara
Wijayanto bagaimana membedakan sebuah teriakan kala bertemu dengan “setan” atau
bertemu dengan “mantan”. Sara jelas tak bisa membedakan keduanya, dan memilih
teriakan datar, se-datar akting kaku bak batang kayu miliknya.
Konklusinya luar biasa
mengejutkan, Arwah Noni Belanda seketika membawa sebuah karakter baru-yang
patut dipertanyakan dari mana kedatangannya, terlebih pasca sebuah epilog
menampilkan sebuah kalimat “3 bulan kemudian” saya terkekeh tanpa sebab pasca
mendapati sebuah twist yang luar biasa penuh kemalasan tanpa adanya sebuah
rajutan penceritaan. Ini sama halnya dengan keengaanan sang editor untuk
mematikan fitur auto correct dari Microsoft Word-yang menampilkan ketikan hasil
tulisan Sarah yang pernuh ke-typo-an, belum lagi Agus Pestol menampilkannya
dengan menyorot layar monitor secara penuh. Sungguh, sebuah kesalahan yang tak
malu untuk ditampilkan.
SCORE : 0.5/5
0 Komentar