Serupa karya Ziad Doueiri sebelumnya, The Attack (2012) yang ditolak penayangannya di 22 negara (termasuk Lebanon), The Insult pun mengalami hal serupa kala beberapa negara termasuk Yordania dan Palestina menolak untuk menayangkan sajian yang kontroversi ini. Setidaknya itu lewat kaca mata mereka pula pemikiran kerdil yang tetap di pelihara tanpa terlebih dahulu menyaksikannya. The Insult adalah sebuah sajian jujur yang merekatkan alih-alih memisahkan atau menyulut sebuah pertentangan.
Semua bermula pada sebuah kejadian yang melibatkan saluran pipa pembuangan milik Tony Hanna (Adel Karam) yang mencipratkan air ke jalan pula tubuh seorang mandor bangunan yang tengah melakukan pekerjaan, Yaseer Salameh (Kamel El Basha) yang lantas menemui istrinya Shirine (Rita Hayek) dalam meminta perizinannya untuk membetulkan pipa ilegal tersebut. Niat baik Yaseer berubah pada sebuah lontaran kalimat "fucking prick" ketika Tony menghancurkan pipa yang ia benarkan. Dari sini masalah bemulai.
Tony jelas tak menerima perkataan hinaan seorang imigran Palestina yang tinggal di kamp pengungsian di Lebanon, sementara Yaseer tetap tak bergeming, enggan meminta maaf meski sang majikan membujuk bahkan hendak memecatnya. Hingga kala sebuah pertemuan perdamaian dilakukan, pukulan tangan Yaseer mengakibatkan dua tulang rusuk Tony patah pasca ia melontarkan kalimat bernada sarkasme berupa sebuah harapan agar Yaseer dibunuh oleh Ariel Sharon.
Tak terima atas perlakuan Yaseer, Tony kemudian melaporkan Yaseer ke pihak berwenang-yang kemudian berujung pada sebuah meja pengadilan yang berkepanjangan. Masalah mereka semakin pelik pula rumit. Ini tentu mengundang para pengacara untuk membela kedua belah pihak. Wajdi Wehbe (Camille Salameh) menggunakan kesempatan ini untuk kembali mengembalikan nama baiknya dengan membela Tony, sementara Nadine Wehbe (Diamand Bou Abboud) berdiri membela Yaseer-yang berarti ia harus berhadapan dengan sang ayah dalam kasus pertamanya ini.
The Insult kemudian memperluas cakupan cerita ke dalam courtroom drama yang menjadi daya tarik utama filmnya. Naskah garapan Ziad Doueiri bersama Joelle Touma adalah alasan mengapa adegan ruang pengadilan tampil memikat disamping dengan lantang menyuarakan sebuah dialog tajam bernada provokasi, Dari mulai isu terkait politik, agama hingga Palestina berujung menguak sebuah tragedi di dalamnya-yang secara tidak langsung memberikan sebuah pesan tersirat terkait karakterisi tokoh utama.
Doueiri yang bermain dengan sebuah dualisme yang menyulut sebuah perbincangan bernada agamis-seperti yang diterapkan pada karakter Tony yang merupakan anggota Partai Kristen Lebanon yang fanatik-yang bergabung dengan partai karena alasan pengabdian agama ketimbang rasa ideologis. Setia mengikuti demonstrasi politik di samping setuju dengan pidato Bachir Gemeyel yang mengkampanyekan pengusiran terhadap imigran Palestina di tanah Lebanon. Ini tentu menjadikan keputusannya memenjarakan Yaseer adalah sebuah keputusan personal atas rasa benci.
Sebaliknya Yaseer menerima atas sebuah kesalahan-yang bahkan enggan membela dirinya sendiri. Doueiri tak lantas menjadikan perselisihan keduanya sebagai ajang menyulut konservatisme agama atau dengan senang menabur xenophobia. Ia justru mengajak penonton untuk menyelami latar belakang keduanya yang merupakan korban tragedi masa lalu yang kelam. Dari situ pula, naskahnya turut menelanjangi sejarah terkait Perang Sipil Lebanon yang terjadi pada tahun 1970.
Lewat elemen itu pula Doueiri bermain dengan batin karakternya yang masing-masing memiliki luka. Luka yang tumbuh dan merambat dan terjaga hingga sekarang. Doueiri kemudian memberikan sebuah pemahaman yang meski tak sepenuhnya bisa dibenarkan-namun dapat dipahami. Dari sini, sebuah penebusan berupa kata-kata berhasil mengubah pandangan keduanya. Mengamini tagline yang diusungnya berupa Word Change Everything.
Pun dalam penuturannya, The Insult tampil menenangkan hati dan pikiran. Kala sebuah pesan berupa rekonsiliasi agama tampil meneduhkan pula menenangkan. Ini yang masyarakat dewasa ini butuhkan. Ketika terjadi sebuah perbedaan seharusnya menghasilkan sebuah toleransi tinggi pula sebuah permulaan untuk menerima satu sama lain. Jika sudah tercipta hal demikian, ego serta rasa sakit masing-masing dengan mudah dilenyapkan.
SCORE : 4.5/5
0 Komentar