Misteri Dilaila tampil begitu menghebohkan sebab memiliki dua versi dengan alternate ending
yang berbeda, menghasilkan 8,8 Juta RM (sekitar 30,7 Milyar Rupiah).
Tentu, sebuah prestasi yang membanggakan berkat keputusan sang
sutradara, Syafiq Yusof (Desolasi, Abang Long Fadil, KL Special Force)
yang turut serta merangkap sebagai penulis naskah dalam hal
"pendapatan". Namun apakah semuanya setara dengan kualitas yang
dihasilkan?
Jawabannya tidak. Warga Malaysia boleh saja memuji pula bangga akan filmnya, bagi saya pribadi, Misteri Dilaila jauh dibandingkan dengan Kala (2007) arahan Joko Anwar yang mengesankan itu, saya belum menyebut Pintu Terlarang (2009) maupun Belenggu (2012) yang masing-masing menghasilkan sebuah kesan mindblowing pasca menontonnya. Di luar isu plagiarisme yang menerpa filmnya akibat narasi sama persis dengan Vanishing Act (1986). Misteri Dilaila justru tampil lemah, mengenyahkan logika hingga konklusi yang serba mendadak merusak esensi filmnya yang terbilang menarik ini.
Semua bermula kala Jefri
(Zul Ariffin) dan sang istri, Dilaila (Elizabeth Tan) mengunjungi villa
warisan mertua Dilaila dengan tujuan berniat menghabiskan waktu
bersama. Hari pertama kedatangan mereka menyulut sebuah
pertengkaran-yang kemudian membuat Jefri harus tidur di sofa. Begitu ia
terbangun, ia dikejutkan dengan menghilangnya sang istri dari villa
tanpa jejak pula petunjuk yang pasti.
Dilanda kepanikan, Jefri
kemudian melapor kejadian tersebut kepada Inspektur Azman (Rosyam Nor),
tak berselang lama, Jefri kemudian mendapati datangnya seorang Ustaz
bernama Aziz (Namron) yang mengatakan kepadanya bahwa sang istri
menginap di tempat tinggalnya-yang kemudian disusul dengan kedatangan
seorang wanita (Sasqia Dahuri) yang mengaku sebagai Dilaila.
Mengelak percaya karena
perbedaan wajah, Jefri bersikukuh bahwa wanita (selanjutnya dipanggil
Dilaila II) tersebut hendak menipunya. Dari sini, ketertarikan untuk
mengikuti kisahnya semakin memuncak kala tak ada satupun orang yang
mempercayai Jefri, bahkan sang adik ipar, Farid (Mas Khan) pun turut
mengakui Dilaila II adalah kakak kandungnya. Timbul pertanyaan seputar
siapa sebenarnya jati diri Jefri? Apakah ia adalah sosok yang hilang
kewarasan ataukah target dari rencana terstruktur?
Syafik Yusof memang
piawai memainkan tensi guna merenggut atensi penonton agar terikat oleh
guliran kisahnya, pun terkait pengadeganan-ia terapkan teknik mask transition
(transisi adegan dengan objek bergerak) yang mengindahkan kuantitas
filmnya-di samping lokasi pula perabrotan yang mendukung penuh
penceritaan, Misteri Dilaila boleh saja unggul dengan segala
kuantitas miliknya, meski harus saya akui kualitasnya tampil tak
seberapa, terlebih kala Yusof memasukkan unsur horor dengan jumpscare
mendadak (yang sejatinya nihil substansi) lengkap dengan scoring pemekik
telinga.
Terlebih, semua tampak
mengesalkan pasca mendapati naskah yang terlihat menggiurkan itu tampil
begitu hambar akibat cacat logika, dialognya sendiri tampil dangkal,
jangan kaget jika anda mendapati sekuen teriak keras pula rengekan dari
Jefri kepada Inspektur Azman yang kerap menimbulkan sebuah kejemuan,
untungnya para pelakon tampil cukup meyakinkan, Zul Ariffin dengan
pembawaan berkharisma dan sadar betul bahwa ia tak berada dalam tontonan
yang serius, sementara Rosyam Nor tampil unggul dengan dialog sarkasme
miliknya.
Berbeda satu menit durasi dengan versi pertamanya (berjalan selama 82 menit). Perbedaan mencolok jelas terdapat pada 15 menit terakhir filmnya-yang berisi tumpukan demi tumpukan twist secara mendadak. Setidaknya itu menurut pendapat Syafiq-yang berpikiran bahwa lebih banyak twist lebih baik pula filmnya. Sehingga kala ditanya perihal substansi pemilihan tersebut, Misteri Dilaila - Versi 2 ini tak memiliki sebuah kedalaman selain bersembunyi dari pilihan tampil beda nan berani.
Versi pertamanya lebih menekankan pada psylogical thriller-yang mana tercoret oleh elemen horor. Sebaliknya, versi kedua lebih menekankan horor-yang membuat elemen psylogical thriller terasa tak sepadan. Selain medioker, eksekusinya serba tanggung-terlebih jika ditanya terkait kejelasan utama konklusinya-yang hanya sebatas memberikan keklisean nihil substansi, terlebih kebenaran utama filmnya tak seberapa menghasilkan taji selain sebuah ambiguitas-yang dipaksa hadir demi mematenkan sebuah misteri.
Jika ditanya mana yang lebih baik di tonton? Saya akan menjawab tidak untuk kedua-duanya. Masing-masing memiliki kelemahan sama kuatnya terkait pemaparan plot-yang tampil berantakan nan nihil sebuah lonjakan. Versi pertama mungkin lebih baik sedikit (ingat, sedikit!) karena lebih masuk akal di samping kualitas medioker miliknya. Versi kedua ini lebih kacau akibat ambisi lebih sang sutradara yang tak terkontrol dan bahkan mendekati aspek tolol sekalipun. Inilah bukti bahwa modal niat saja tidaklah cukup!.
SCORE : 2/5
0 Komentar