Sebagai sajian dark comedy, Gringo garapan sutradara Nash Edgerton (The Square) memantik isu seputar rasisme hingga seksisme-yang kerap diiringi sarkasme. Bahkan, secara tersirat naskah hasil tulisan Anthony Tambakis dan Matthew Stone (juga sebagai pemilik ide cerita) terang-terangan mengkritisi kebijakan Trump terkait pendirian tembok pemisah di wilayah perbatasan San Diego. Pun secara tersurat, protagonis utama yang bernama Harold Soyinka (David Oyelowo) seolah menunjukan sifat asli para pemilik kulit hitam yang digambarkan sebagai seorang yang berpikiran lurus, sekalipun ia mendapati pengkhianatan sana-sini.
"If you come to America and follow the rules, good things will happen" demikian prinsip yang selalu diterapkan Harold. Ketika tuntutan pekerjaan memaksanya untuk pergi dari Chicago ke Meksiko mengiringi sang atasan sekaligus teman karib semasa kuliahnya, Richard Rusk (Joel Edgerton) bersama Elaine Markinson (Charlize Theron) rekan bisnis sekaligus wanita pemuas hasrat Richard-untuk mendatangi sang manejer lab, Sanchez (Hernán Mendoza) guna menghentikan pasokan pil berbahan ganja kepada Black Panther (Carlos Corona) si mafia sadis. Malang bagi Harlod, ia menyadari bahwa kebaikan Rusk ternyata sebuah kepalsuan-yang kemudian berniat akan memecatnya.
Harold kemudian membuat sebuah skenario penculikan dirinya guna menggertak Rusk pula Elaine. Skenario yang semula sebuah kepalsuan ternyata membuat Harold sebagai sosok incaran yang diinginkan. Incaran terbesar datang dari Black Panther yang mengira Harold adalah sang bos utama, sementara orang seperti Gonzales bersaudara (Diego Catano dan Rodrigo Corea) hingga Mitch Rusk (Sharlto Copley) adik Richard-yang seorang pembunuh bayaran-menggunakan kesempatan langka demi mendapat sejumlah uang.
Dari sini persona Gringo keluar, kala sosok kepercayaan hingga orang terdekat, termasuk sang istri, Bonnie (Thandie Newton) yang berselingkuh dengan sang rekan, seketika melecut prinsip yang selalu diterapkan Harold dalam memandang kehidupan. Nash menghadirkan sebuah ironi terkait kehidupan-yang tak sesuai dengan ekspetasi. Namun, dalam tuturannya, Edgerton tak lantas memukul rata, masih ada Sunny (Amanda Seyfried) yang berhati mulia dan berujung bernasib sama seperti Harold, ia dijadikan sebagai alat penutup kejahatan sang kekasih Miles (Harry Treadaway) si penyuplai narkoba-yang menggunakan kedok liburan terhadap Sunny.
Gringo menyimpan setumpuk relevansi pula pembelaan terkait bangsa negro-yang kerap terasingkan. Dalam eksekusinya, Edgerton memanfaatkan "kedok kejahatan" sebagai sebuah twist tak terduga-yang kemudian semuanya berpusat pada Harold, si kunci utama. Meski kerap tak berimbang dalam membagi porsi (keberadaan Miles dan Sunny harus mengalami kekurangan eksplorasi dan motivasi) benang merah Gringo sejatinya masih terasa, terjaga di samping presentasi tak merata.
Kekuatan utama Gringo terletak pada barisan dialog yang secara tak langsung melayangkan sebuah kritikan tajam, termasuk lontaran barisan dialog bernada sarkastis yang dilontarkan Charlize Theron-yang sempurna memerankan sosok rasisme pula perawakan seksi sebagai penggoda birahi. Puncak performa Theron bisa anda saksikan ketika sebuah sekuen menampilkannya berbicara kesal di depan spion mobil-yang pada momen ini turut menciptakan sebuah teknis sinematik berupa pengadeganan kamera Eduard Grau (Buried, The Gift, Boy Erased) dalam merangkai sebuah mise-en-scène.
Pun jajaran pemain lainnya turut berjasa menampilkan sebuah performa apik, termasuk David Oyelowo yang mampu melontarkan dialog menggelitik tepat sasaran, sementara Sharlto Copley mencuri perhatian lewat tingkahnya yang terkadang tampil di luar dugaan. Gringo adalah sebuah panggung bagi banter kalimat menarik yang terlontar sedemikian nyentrik.
Bukannya tanpa cela, Gringo harus menginjak batu sandungan kala Edgerton merangkai sebuah sekuen aksi-yang menciptakan sebuah kesenangan tersendiri pula konsekuensi terkait sebuah simplifikasi. Edgerton bak terburu-buru mengakhiri penceritaan seolah kebingungan bagaiman memanjangkan adegan. Alhasil, impresi yang semuala terasa kian mengendor seketika-meski tak sampai menghilangkan aspek utama.
Walaupun demikian, Gringo yang merupakan sebuah derogatori (ungkapan penghinaan atau merendahkan) masih bisa mengangkat derajat filmnya dalam upaya melontarkan sebuah kritikan dalam sistem kebijakan-yang mana acap kali kurang seimbang di tengah beragam petisi kerap dibenarkan.
SCORE : 3.5/5
0 Komentar