7 Days selaku karya keempat Panjapong Kongkanoy (Shambala, The Rooms, The Moment) mempunyai premis seputar menghargai memori pula memanfaatkan waktu sebelum habis waktu itu dalam sebuah hubungan percintaan. Tentu, intisari tersebut akan di sibak ketika filmnya berakhir. Sementara pada proses eksekusinya Kongkanoy memanfaatkan ketidaktahuan penonton-yang mana ini adalah sebuah keharusan yang kemudian dienyahkan. Hasilnya adalah kurangnya keterikatan batin ketika kita mulai meraba proses introduksi-yang untungnya berhasil ia tebus ketika menjelang konklusi.
Ya, ketidaktahuan kita sama halnya seperti apa yang karakter utama kita rasakan, ketika Meen (Nittha Jirayungyurn) sulit untuk menghubungi keberadaan sang kekasih, Tan (Kan Kanthavorn) pasca sebuah pertengkaran antar keduanya. Tanpa diketahui Meen, Tan rupanya selalu berada di dekat Meen, setidaknya ia selalu bersamanya dan mendapati ponselnya berdering meski di lain tubuh yang berbeda. Ya, 7 Days mengetengahkan sebuah jiwa yang mendapati dirinya selalu terbangun dalam tubuh yang berbeda setiap harinya, selama tujuh hari berturut-turut.
Tak mudah untuk Meen menyadari bahwa orang lain yang berada di dekatnya adalah Tan. Momen ini dijadikan Kongkanoy sebagai sebuah prose filtrasi terhadap memori-di mana-di tiap Tan berganti tubuh, selalu ada sebuah kata yang mewakili frasa bagi kehidupan Meen (passion, dream, soul, mind) yang disampaikan oleh orang terdekat atau bahkan yang pernah mereka lihat bersama, seperti kala Tan berada di tubuh seorang pria gay bernama Giorgio (Lawrence de Stefano) hingga tubuh sang rekan sesama koki (Ananda Everingham).
7 Days meleburkan batas pula mengaburkan penglihatan hingga pemikiran tentang sebuah hubungan. Bahwa sebuah hubungan bukan hanya perihal mengenai kontraksi rasa, melainkan turut melibatkan sebuah tempat hingga orang-orang sekitar yang memberikan warna bagi sebuah memori yang akan selalu di ingat. Pesan ini sejatinya sampai dengan tepat, bahkan berpotensi menusuk perasaan-andai turut dibarengi persentasi sempurna bagi filmnya.
Permasalahan yang menghalangi lajur penceritaan 7 Days ialah pondasi filmnya-yang terkadang kurang berimbang. Dalam prosesnya, terdapat karakter baru yang hendak menghantarkan sebuah pesan seorang Tan terhadap Meen, ketidakberimbangan inilah yang menjadi kendala kala kehadiran seseorang dapat memberikan sebuah dampak yang signifikan bagi perasaan Meen begitupun sebaliknya. Pun, Kongkanoy menaburkan beberapa humor yang bernasib sama seperti hasil eksekusinya, yakni hit-and-miss.
Hingga kala konklusi tiba, dampak yang dihasilkan tak sepenuhnya terasa. Ya, saya menitikan air mata ketika mendapati sebuah kejutan yang dihantarkan filmnya-meski tak sampai banjir air mata sebagaimana yang diharapkan. Berkat pembawaan penuh sensibilitas pula emosi mengoyak perasaan seorang Nittha Jirayungyurn momen tersebut terasa nyata-di tengah kurangnya porsi dalam menghadirkan sebuah jalinan chemistry bersama Kan Kanthavorn-yang untungnya masih bisa terasa.
Pun, dalam memandang sebuah makanan, jalur bersebrangan pun menimpa, termasuk perbedaan persepsi antara Tan (seorang koki) dan Meen (kritikus masakan). Apabila Tan gemar bereksperimen, lain halnya dengan Meen yang menuruti aturan textbook. Pun dalam kehidupan, Tan ingin melanglang buana sementara Meen ingin berada di zona nyaman. 7 Days mungkin gagal membentuk sebuah jalinan sempurna kehidupan-namun berhasil mewakili keduanya, daripada memilih maupun mengalah, 7 Days merangkul aspek kehidupan yang berbeda guna mencipatakan sebuah aspek terpenting dalam kehidupan: perjalanan berharga.
SCORE : 3.5/5
0 Komentar