Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

BLACK PANTHER (2018)

Selain menyajikan sebuah aksi bombastis menyenangkan, Black Panther garapan sutradara Ryan Coogler (Fruitvale Station,Creed) memberikan senytuhan lain-yang mana belum pernah dijamah Marvel Cinematic Universe (MCU) yakni perihal tuturan pesan yang kuat. Ya, Black Panther menunjukan sebuah aksi terkait black culture-yang masih saja dianggap sebelah mata. Lalu, jika mereka punya sebuah kekuatan dan keunggulan, akankah menjadikan mereka akan menginjak-injak dan melakukan hal serupa? Black Panther dengan tegas menjawab "TIDAK". Terdengar miris memang jika membandingkannya dengan realita masa kini, terlebih jika berada dalam pimpinan seseorang-yang mempunyai hati terbuat dari batu (Yeah, i look at you Trump).
 
 
Ialah Wakanda, negara adidaya yang makmur, berteknologi canggih dan tak melupakan akar kulturalnya. Itu semua terjadi berkat adanya sebuah penemuan benda asing bernama Vibranium. Demi menghindari sebuah penyalahgunaan akan benda tersebut, Wakanda kemudian menutup diri dari dunia luar, menjadikan negara maju tersebut tak lebih dari sebuah dunia ketiga.
 
 
Pada tahun 1992, Black Panther kemudian kembali memulai pengisahannya, menyoroti sepak terjang T'Challa (Chadwick Boseman), menggantikan mendiang sang ayah, King T'Chaka (John Kani) guna memimpin Wakanda. Dalam masa kepemimpinannya, T'Chala harus melindungi Wakanda dari serangan dunia luar, termasuk ancaman dari Ulysses Klau (Andy Serkis), pihak luar yang ingin mencuri Vibranium.
 
 
Namun, seperti kebanyakan yang terjadi, ancaman terbesar justru selalu berasal dari dalam. Ialah Erik "Killmonger" Stevens (Michael B. Jordan)-yang ingin merebut tahta kekuasaan Wakanda dari T'Challa. Tak seperti sosok villain kebanyakan, Killmonger memantapkan barisan menuju sosok villain terbaik MCU  masa kini, di mana segala tindak-tanduk personal mengapa ia bersikap demikian dapat dipahami alih-alih dibenci. Jika Boseman menjadikan figur T'Challa sebgagai sosok yang meneduhkan, demikian dengan Killmonger yang mewarisi hal bertolak belakang.


Seperti yang telah saya singgung di atas, Black Panther adalah sebuah sajian eskapisme yang memiliki nilai lebih berkat usungan penting-yang ditulis naskahnya oleh Ryan Coogler bersama Joe Robert Cole (Amber Lake) yang dengan lantang menyuarakan sebuah kekuatan terhadap kaum minoritas. Saya belum menyebut pesan terkait pemberdayaan wanita yang diwakili oleh Okoye (Danai Gurira), pengawal T'Challa-yang punya maskulinitas tinggi terkait kesetiaan menjaga negara.


Pun, demikian dengan tokoh Shuri (Letita Wright), adik T'Challa yang mempunyai kepintaran tinggi terkait pengoperasian teknologi, Shuri mewakili relevansi terkait "kekuatan lebih" seorang minoritas, sementara Nakia (Lupita Nyong'o) memberikan sentuhan bagaimana sebuah "kekuatan wanita" tercipta. Sulit untuk tidak menyebut Black Panther sebagai sebuah tontonan bernilai tinggi.


Dalam pengemasannya, naskah Black Panther turut mempermainkan sebuah pertanyaan terkait "Bisakah orang baik menjadi Raja?" Menurut mendiang T'Chaka hal tersebut sangatlah sulit, Coogler membawa pertanyaan ini sebagai sebuah amunisi lebih bagi dirinya bermain dalam ranah study charachter, di mana T'Challa kerap gamang menghadapi pernyataan tersebut-yang seiring berjalannya durasi, kita akan menemukan sebuah pembelajaran baru terhadap karakternya, pula kita sebagai penonton.


Guliran aksi-yang ditampilkan Coogler tak pernah gagal meraih atensi, berkat pengadeganan pula koreografi memikat, Black Panther mampu mengikat penonton untuk tak beranjak dari kursi. Mulai dari aksi kejar-kejaran di jalanan Busan, Korea, hingga pertempuran di bawah guyuran air terjun serta puncaknya di klimaks kala pertempuran besar dihadirkan. Semuanya selalu berhasil memanjakan mata.


Terlebih, sinematografi hasil bidikan kamera Rachel Morrison (Fruitvale Station, Dope, Mudbound) senantiasa memberikan sebuah keindahan dalam pengalaman sinematik, entah itu lewat lanskap cantik Afrika hingga menampilkan sebuah aksi berbalut futuristik canggih. Musik bernuansa Afrika, selalu memberikan semangat lebih, diracik sedemikian indah oleh Ludwig Göransson (Fruitvale Station, Creed).


Bukan tanpa kekurangan, acap kali ditemukan rangkaian CGI kasar dalam penerapan adegan, terlihat jelas bak seolah tempelan. Pun, mengenai aksi klimaksnya, terasa kurang menggelegar-akibat aksi di adegan sebelumnya benar-benar mengikat perhatian, Meski demikian, Black Panther adalah sebuah suguhan-yang tidak menutupkemungkinan untuk saya sambangi di lain kali, berbekal aksi memikat mata pula tuturan kaya rasa. Sulit untuk tak tergugah olehnya. Wakanda Forever........
 
 
SCORE : 4/5

Posting Komentar

0 Komentar