Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

MIDSOMMAR (2019)

Nama Ari Aster seketika dipergunjingkan pula dipuji habis-habisan oleh khalayak pasca menelurkan debut film panjang pertamanya-yang bertajuk Hereditary (2018)-yang sukses menimbulkan mimpi buruk itu. Untuk itu, lewat karya terbarunya-yang masih dibawah bendera A24, Midsommar merupakan sebuah bukti nyata bahwa Aster adalah sutradara handal pula kompeten, horor mana yang bermain di bawah sinar matahari dan menebar kengerian di siang hari?
 
 
Ya, Aster dengan eksekusi anti-mainstream-nya menjadikan festival musim panas sebagai sebuah ajang-yang tak seindah kita kira, kala ketenangan pula kecerian menyimpan setumpuk misteri berbalut keanehan terselubung-yang menjadi tempat protagonis utama kita, Dani (Florence Pugh) melarikan diri dari sekelumit kejadian tragis yang menimpa keluarga pula dirinya (Dani mengidap mental illness).
 
 
Awalnya, naskah buatan Ari Aster tampak bermain dengan drama-romantika hubungan remaja-yang tengah dilanda bencana. Dani si pengidap anxiety merasa dirinya terlalu membebani Christian (Jack Reynor) sang kekasih, sementara Christian merasa lelah dengan curhatan tanpa henti dari Dani. Keduanya sempat berencana mengakhiri hubungan, hingga bencana menimpa keluarga Dani datang, niat tersebut diurungkan.
 
 
Sebuah ajakan dari Christian kepada Dani untuk turut serta pergi bersama sang kawan, Mark (Will Poulter) dan Josh (William Jackson Harper) mengunjungi perayaan musim panas di Hälsingland, Swedia, atas undangan Pelle (Vilhelm Blomgren) menjadi sebuah eskapisme bagi Dani. Di mana Hårga, komune tempat Pelle tumbuh menjadi tempat. Dari sinilah Aster mulai menebar kengerian-yang akan membuat bulu roma mendadak berdiri tegak, unsur paganisme mengambil alih penceritaan-tanpa sekalipun mengeliminasi keadaan.


Di mulai oleh ritual attestupa, Aster menanamkan kengerian dalam balutan ketenangan pula keceriaan sebagai permulaan. Momen ini jelas menaikan tensi penceritaan-yang menandai kepiawaian Aster dalam merangkum adegan bernuansa gore-yang cukup signifikan-yang semakin berkesan kala sinematografi garapan Pawel Pogorzelski (Hereditary, Tragedy Girls) turut ambil tangan menciptakan sebuah keindahan berbalut kengerian.


Di banding Hereditary, Midsommar mungkin tak seberapa, namun jelas memberikan sebuah panggung sempurna bagi para karakternya. Di dalamnya terdapat sebuah situasi yang diinginkan sang protagonis-yang justru tampil ektrimis. Midsommar menyinggung para mereka-yang kerap menganggap remeh penderita mental illness, sekaligus mempertanyakan seberapa jauh sisi humanis manusia bekerja (dari sini dalam perspektif hubungan remaja).


Dani merasa diterima dan diperlakukan begitu layak oleh para penduduk HÃ¥rga, justru berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di dunia nyata. Tentu, hal ini sangatlah bisa diterima. Namun, Aster tak segampang itu saja memainkan cerita, terdapat pergolakan batin yang hebat di dalamnya. Kapasitas Florence Pugh jelas sempurna mewakili hal tesebut, sang aktris seolah benar penderita mental illness dengan cekikan hebat yang selalu melekat pada dirinya.


Berlangsung selama 147 menit, Aster menjadikan tiap adegan begitu kental akan nuansa creepy, termasuk adegan terkecil pun-yang digarap dengan konsentrasi pula kepiawaian tinggi. Semakin lengkap, kala scoring berbentuk erangan, tangisan bahkan desahan terdengar begitu mengerikan pula menyakitkan, tentu dengan bantuan Bobby Krilic dalam pengaturannya.


Midsommar memang unggul dalam segi teknis, pun demikian dengan tensi cerita-yang tetap terjaga berkat kepiawaian Aster memainkan misteri-yang selalu menarik atensi. Hingga, kala konklusi bergulir, tercipta sebuah kebrutalan, kesadisan pula ketenangan yang berhasil menimbulkan senyuman. Midsommar menampilkan sebuah penebusan setimpal-meski jelas jauh dari kata berkesan. Ketika iblis berwajah manusia musnah pula hubungan jauh dari perasaan setia punah, terciptalah sebuah senyuman tercurah.


SCORE : 4/5

Posting Komentar

0 Komentar