Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

THE PRODIGY (2019)

Sama seperti halnya The Babadook (2014) yang mengejawantahkan perihal hubungan ibu dan anak, The Prodigy yang awalnya berjudul Descendants ini membawa kita melihat sebuah kebahagiaan dalam biduk rumah tangga yang dialami Sarah Blume (Taylor Schilling) dan John Blume (Peter Mooney) pasca sebuah kelahiran anak pertama yang sudah ditunggu-tunggu sejak lama. Anak sulung itu bernama Miles (Jackson Robert Scott) yang mempunyai heterochoromia (sebuah istilah untuk seorang anak yang mempunyai warna mata berbeda).

Kebahagiaan Sarah berlipat kala menyadari bahwa Miles adalah sosok anak jenius. Kejeniusan Miles membawanya masuk ke sekolah bergengsi dan prestisius. What's Wrong with Miles? Tagline tersebut membawa The Prodigy memasuki unsur horor semisal The Omen (1976) maupun horor buatan dalam negeri semisal Pengabdi Setan (2017).


Naskah garapan Jeff Buhler (Pet Sematary-2019) membawa filmnya menyoroti ketakutan pula kecemasan Sarah-yang mana ditampilkan dengan meyakinkan oleh Schilling. Sarah adalah sosok ibu yang kebingungan membagi cinta kasih ditengah setumpuk tanya yang kerap terjadi di dalam diri Miles. Untuk itu, ia membawa Miles pada seorang psikiater sekaligus peneliti, Arthur Jacobson (Colm Feore)-yang membawa ita pada sebuah adegan "konseling" yang tampil cukup menyeramkan pula meyakinkan berkat performa pula barter kalimat antara Feore dan Scott.


Adalah Nicholas McCarthy (The Pact, At the Devil's Door) yang menduduki bangku sutradara dalam film ketiganya-sekaligus film dengan budget cukup besar untuk pertama kalinya. McCarthy sejatinya piawai menghantarkan sebuah momen yang cukup mengerikan. Sebutlah adegan tangga hingga sorotan wajah Miles kala merayakan hari Halloween. Ditemani scoring gubahan Joseph Bishara (The Conjuring, Insidious: The Last Key) yang menekankan sebuah kengerian pula tata kamera cekatan hasil bidikan Bridger Nielson.


Dalam penuturannya, Buhler memasukan unsur reinkarnasi pula hal terkait dualisme yang cukup detail dimasukkan oleh McCarthy ke layar. Sebutlah unsur kelahiran-kematian yang paling mendominasi. Saya amat menyukai The Prodigy lewat tata artistiknya yang cukup piawai, terlebih kala McCarthy memakai teknik dramatic irony (istilah perfilman mengenai penonton yang lebih tahu daripada karakter utama).


Dengan demikian, The Prodigy yang memiliki cerita serupa film sebelumnya memiliki nyawa lebih dari penonton, hingga proses menelaah pula menyelidiki pun diharapkan penuh terhadap karakter yang disajikan cukup terburu-buru oleh McCarthy, terlebih mengenai proses tumbuh kembang Miles yang dirasa cukup cepat-tanpa penonton lebih tahu mengenai asal-usulnya.


Pun, dalam penuturannya The Prodigy memang sukses menebar kengerian tersendiri-berkat kepiawaian McCarthy merangkai momen simpel dengan begitu mengerikan kala memasukkan unsur gore yang cukup sadis itu, andai ditemani penyuntingan tempo yang lebih memperhatikan timing, semuanya akan tersaji begitu mulus tanpa adanya sebuah kata "tapi" yang melekat pada The Prodigy.


Itu terjadi hingga konklusi tampil. The Prodigy gagal memberikan sebuah pay off terkait rasa yang dihantarkan Sarah yang dilanda kebingungan dalam memaknai kata "mengarahkan". Film terlalu berusaha keras untuk membuat sang antagonis menang, yang mana ini bisa dipahami pasca sebuah clue menunjukkan sebuah sekuel. Andai tidak diniatkan seperti itu, The Prodigy akan masuk ke jajaran horor terbaik tahun ini.

SCORE : 3/5

Posting Komentar

0 Komentar