Selaku film keenam dari bagian The Conjuring Universe, The Curse of La Llorona (di beberapa negara, termasuk Indonesia berjudul The Curse of Weeping Woman) menyimpan setumpuk potensi sebagai sajian horor yang turut menyentuh sisi gelap parenting soal origin story si dedemit Kuntilanak/Wewe Gombel dengan kearifan lokal Meksiko, La Llorona namanya. Tambahkan isak tangis La Llorona yang kehilangan kedua anaknya sebagai tanda akan datangnya sebuah malapetaka. Tentu sangat mengerikan, namun dari tangan sutradara debutan, Michael Chaves (sebelumnya menggarap film pendek berjudul The Maiden) semuanya berubah menjadi menjemukan kala mayoritas film hanya sebatas pengulangan seri conjuring universe.
Ya, naskah garapan Tobias Iaconis dan Mikky Daughtry (Five Feet Apart) hanya sebatas menampilkan rentetan jump scare tanpa adanya sokongan latar belakang yang memadahi, terlebih mengenai sosok La Llorona yang gagal tersaji akibat dangkalnya narasi. Ceritanya sendiri mengenai Anna (Linda Cardellini), seorang pekerja sosial dan seorang single mother, tengah menangani kasus keluarga Patricia Alvarez (Patricia Velásquez) yang diduga melakukan tindak kekerasan terhadap kedua anaknya. Patricia mengurung kedua anaknya di lemari, pula Anna menemukan bekas luka di tangan kedua anaknya. Patricia di tahan, namun naas, kedua anaknya justru ditemukan tewas tenggelam.
Kemarahan Patricia menyalahkan Anna atas kematian sang anak, Anna yang mengelak percaya pada tindakan Patricia demi menjaga anaknya aman dari La Llorona, hantu wanita yang dari legenda Meksiko yang kerap menculik anak. Tak butuh waktu lama untuk kasus serupa menimpa Anna, kala kedua putera dan puterinya, Samantha (Jaynee-Lynne Kinchen) dan Chris (Roman Christou) mulai dihantui La Llorona. Anna yang semua menganggap La Llorona sebagai sebuah bualan kini harus bergulat dan menyelamatkan kedua anaknya dari teror sang hantu.
Michael Chaves memang tak segan menjadikan The Curse of La Llorona sebagai sebuah mimpi buruk bagi anak, dari sini kita melihat filmnya sempat menyentuh ranah psikologis, kala Anna yang seorang pekerja sosial di bidang perlindungan anak harus terjebak pada kondisi serupa Patricia, apalagi ia di sinyalir bertanggung jawab atas luka di tangan kedua anaknya, serupa yang terjadi pada anak-anak Patricia. Miris meamang!.
Paruh awalnya tampil meyakinkan kala Chaves mampu membangun sebuah gelaran gambar yang cukup untuk mengerenyitkan dahi, pun penampakan sang hantu mampu meraih atensi berkat tampilan menyeramkan miliknya. Sadar bahwa elemen tersebut mampu meraih atensi, Chaves lantas merepetisi gelaran adegan tersebut-yang mana terjadilah sebuah repetisi serentetan adegan jump scare-yang makin tak memiliki daya lebih kala kurangnya volume scoring dari Joseph Bishara (The Conjuring, The Conjuring 2), sebuah kasus yang langka memang.
Tentu, ini membuat gelaran terornya tersaji sedemikian hambar karena kurangnya efek kejut, memang di beberapa adegan tampil berhasil-namun tidak selebihnya. Seperti yang telah saya singgung di atas, The Curse of La Llorona memiliki naskah yang tipis, sebatas mengulangi formula tanpa adanya pembaharuan yang signifikan. Tak masalah jikalau guliran kisahnya tampil efektif dengan intensitas yang kian menaik, sayangnya film ini tak memiliki hal itu.
Usaha Anna dalam melindungi sang buh hati turut menyeret seorang cenayang pula pastor bernama Rafael (Raymond Cruz)-yang dijadikan Chaves sebagai wadah untuk menyuntikkan humor. Meski eksekusi terkait pencegahan pula penolakan La Llorona tampil formulaik, namun tidak dengan gelaran humornya yang memberikan warna tersendiri di tengah proses pengusiran berlangsung.
The Curse of La Llorona juga tampil mengenyahkan logika, kala aturan main sang hantu tak begitu jelas (Apakah La Llorona membutuhkan akses pintu untuk menginvasi rumah?). Semuanya tak dijabarkan dengan jelas, kala mayoritas filmny justru sibuk bermain dengan jump scare, tak mengindahkan detail penting yang justru krusial bagi filmnya. Kini saya mulai meragukan nasib The Conjuring 3 yang akan digarap olehnya.
SCORE : 2.5/5
0 Komentar