Bertindak sebagai film pertama Indonesia yang memadukan unsur western film, memindahkan setting Barat ke Timur, Buffalo Boys jelas menggugah keinginan untuk menontonnya lebih dari sekedar hiburan. Di sutradari Mike Wiluan (produser Rumah Dara dan Headshot) yang menjalani debut penyutradaraanya dengan production value yang besar, Buffalo Boys nyatanya tak semegah pengemasannya. Hal paling krusial yang tak dimiliki film ini adalah ketiadaan penceritaan pula gerak kamera yang tak memadahi.
Ya, betul. Buffalo Boys harus menerimakan diri bahwa motivasi yang dibangun lewat karakter Suwo (Yoshi Sudarso) dan Jamar (Ario Bayu) tumpul begitu saja. Awalnya, misi kedatangan mereka yang dibesarkan oleh Arana (Tio Pakusadewo) adalah membalaskan dendam kematian sang ayah, Hamza (Mike Lucock). Hingga ketika tiba di sebuah desa yang dikepalai oleh Sakar (Donny Damara) yang tunduk terhadap perintah Van Trach (Reinout Bussemaker) ketidakadilan yang mereka lihat secara langsung semakin mempertebal tekad pembalasan dendan mereka yang sayangnya tak bekerja dengan baik lewat naskah tulisan sang sutradara bersama Raymond Lee dan Maya Makkarim.
Sakar memiliki dua orang puteri, Sri (Mikha Tambayong) dan Kiona (Pevita Pearce). Lagi-lagi ketiadaan penokohan yang tepat menghalangi laju filmnya yang tak memiliki motivasi yang kuat. Kiona digambarkan sosok wanita yang pandai menunggangi kerbau dan jago memanah, tunggu setelah kalian melihat tekad kuatnya dalam sebuah pembicaraan yang merasa geram dengan patriarki. Sementara Sri hanya sebatas pelengkap, keberadaannya hanya berfungsi sebatas damsel in distress.
Seandainya Buffalo Boys hanya sebatas tontonan pop corn movie, itu akan bekerja dengan baik. Mengingat taburan aksinya memang tak main-main. Namun, keputusan untuk tampil serius dipilih mengukuhkan bahwa filmnya terasa kosong. Ketiadaan narasi yang tepat menghalanginya untuk bersinar, lompatan alur yang kasar hingga sampai film berakhir pun kita tak pernah merasa dekat dengan karakter Suwo dan Jamar yang hanya kita ketahui sebagai dua orang yang hendak balas dendam dan menegakkan keadilan. Itu saja.
Ini membuat karakternya kalah telak oleh penampilan para pendukung, sebutlah keberadaan Hannah Al Rashid, Alex Abbad dan Zack Lee sebagai anak buah Van Trach yang lebih menarik ketimbang mereka. Sayang ketiadaan porsi memadahi menyingkirkan mereka seketika dan hanya sebatas pelengkap saja. Saya belum menyebut keberadaan Sunny Pang yang tak termanfaatkan kelihaian bela dirinya. Dan jika dihilangkan pun sama sekali tak berdampak signifikan.
Sepanjang durasi bergulir, saya hanya terpikat oleh tata produksinya yang tak main-main, melihat guliran aksinya pun sudah cukup menghibur, meski kesan hampa sulit untuk dibendung. Secara kuantitas Buffalo Boys memang unggul, namun tidak dengan kualitasnya yang tumpul.
Kekosongan alur yang padat pun turut membuat Buffalo Boys mudah terlupakan begitu saja. Memang, ada beberapa aksi yang akan dikenang, ketiadaan timing yang tepat saat pergelaran aksi berimbas mengurangi tensi. Seperti kala filmnya hendak men-shoot kadang kamera bergarak kurang pas, paling vital adalah kala filmnya terlalu menghindari gunting sensor (lihat adegan di tengah desa). Terlebih, kekesalan sempat memuncak kala Mike Wiluan mengulur waktu, menghadirkan sebuah kekesalan tersendiri.
Walaupun demikian, kehadiran Buffalo Boys patut untuk diapresiasi dengan membawa sebuah genre baru plus kehadiran Happy Salma sebagai budak simpanan Van Trach yang performanya mengungguli pelakon yang lain lewat tuturan rasa yang dihantarkannya. Andaikan saja Buffalo Boys demikian, saya akan begitu membanggakan film ini ketimbang menjadikannya sebuah kekecewaan tersendiri.
SCORE : 2.5/5
0 Komentar