Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

WINCHESTER (2018)

Di atas kertas, Winchester mempunyai bekal yang lebih dari cukup guna membuat sajian yang lebih daripada bagus. Ya, seperti kebanyakan ekspetasi yang urung berjalan beriringan dengan realita, nyatanya Winchester tersaji sedemikian tumpul, singkatnya ia terjebak sebuah pola medioker. Alih-alih memanfaatkan cerita sebagai pondasi utama yang begitu meyakinkan, Winchester bak sebuah usaha yang gagal untuk mencapai tujuan, terlalu lama membangun pondasi namun urung mencapai tensi.
 
Winchester Mystery House demikianlah predikat yang melatarbelakangi dibuatnya film ini yang berletak di California sebagai rumah terseram yang pernah di buat. Sarah Winchester (Hellen Mirren) adalah sang pemilik rumah yang merupakan warisan dari sang suami yang memiliki perusahaan senjata. Ialah Eric Price (Jason Clarke) yang diminta oleh perusahaan Winchester guna memeriksa pula menyelidiki kondisi psikologis Sarah yang dikhawatirkan tidak mampu mengembam tanggung jawab lagi sebagai pemimpin perusahaan yang mana perlahan tapi pasti menyeret mereka ke sebuah misteri yang berkaitan dengan bangunan tersebut.

Sarah mengaku bahwa ia dikutuk. Itulah mengapa pembangunan tak pernah berhenti karena tuntutan sang hantu yang konon membuat pembangunan terus berjalan. Serupa kebanyakan psikologis di film lain, Eric menolak untuk percaya. Ia menganggap bahwa Sarah halusinasi terhadap hal yang berbau takhayul. Pun sedari awal film bergulir kita melihat keponakan Sarah, Marion (Sarah Snook) dan anaknya Henry (Finn Scicluna-O'Prey) mendengar sesuatu hal yang datang dari kegelapan. Entah itu suara orang yang tengah membangun rumah atau Henry yang merupakan tipikal karakter yang harus ada di film horror, ia digambarkan sering sleep walking sembari sesekali tak sadarkan diri (baca: kerasukan).

Ya, melihat ekseskusi yang dijalankan oleh Spierig Brothers (Predestination, Jigsaw) hanya tergambar dari satu kata yakni formulaik. Seperti yang telah saya singgung di atas juga, Winchester terjebak pola repetitif plus medioker di mana karakternya di giring menuju sebuah misteri yang kemudian turut muncul penampakan makhluk halus yang diiringi scoring berisik dari Peter Spierig. Hingga tak salah semuanya harus berakhir nyaris tanpa esensi kala penceritaan berjalan monoton dan acap kali membosankan.

Dibanding menggunakan sebuah adegan flashback guna menggambarkan sebuah kejadian terkait masa lalu, naskah buatan Spierig Brothers yang turut di bantu Tom Vaughan lebih gemar menyuapi penonton dengan setumpuk informasi yang kelewat membosankan. Itu terbukti kala memasuki durasi pertengahan. Kala sang pemenang piala Oscar sekalipun terasa begitu membosankan melafalkan barisan dialog yang sekaligus menurunkan tensi penceritaan.

Walaupun demikian, aspek teknis berupa bidikan kamera dari Ben Nott mampu menampilkan gambar yang tak hanya mewadahi, -namun kental nuansa gothic yang begitu berasa meski sejatinya filmnya sendiri tak pernah mencapai sebuah pencapaian yang benar-benar memuaskan, acap kali tenggelam berkat pengadeganan yang tak bertautan.

Alhasil, Winchester sendiri adalah sebuah bentuk kebingungan para penulis pula sutradara untuk menjalankan adegan, ia memang ingin fokus dengan cerita period-horror yang dirasa meyakinkan yang di satu sisi turut melemahkan narasi yang disampaikan berkat ketidakonsinenan para pembuat yang semakin jelas kala menggunakan sebuah konklusi yang terlampau menggampangkan. Sebutlah bencana alam yang turut menjadi bencana bagi keseluruhan filmnya.

SCORE : 2/5
 
 

Posting Komentar

0 Komentar