Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

THE NIGHT COMES FOR US (2018)

The Night Comes for Us adalah apa yang disebut gila. Filmnya sendiri dibuat oleh seseorang yang sinting yang setelah mengabulkan mimpi basahnya di ABCs of Death kini mewujudkan apa yang saya sebut sebagai tontonan menyenangkan, tak perlu menguas otak maupun memikirkan ketidaklogisannya. Lihat para karakter di film ini yang melampaui batas manusia normal, yang masih bisa tancap gas serta berdiri tegak dengan usus yang berhamburan keluar, atau yang secara santai memutus jari-jemari. Praktis ini adalah apa yang kita sebut jagoan yang menjadi kegemaran penonton kala jagoan sudah kelewat batas-namun masih siap siaga memasang badan.

Wajar memang, mengingat para manusia gila nan sinting ini dikuasai oleh Triad (organisasi kriminal terbesar di Asia). Salah satu orangnya adalah Ito (Joe Taslim) salah satu anggota Six Seas yang bersedia melakukan apa saja demi memenuhi keinginan Triad, termasuk menghalalkan segala cara (baca: membunuh). Namun kala ia hendak menghabisi seorang wanita bernama Reina (Asha Kenyeri Bermudez) yang menyaksikan seluruh warga termasuk sang orang tua tewas di depan mata pasca dihabisi para anggota Triad. Disinilah wujud malaikat dari seorang Ito tampil, Ito kemudian membelokkan pelatuknya ke belakang guna menghabisi mereka. Dari sini pula konflik terbesar cerita tampil, kala Ito menjadi buruan para pembunuh, termasuk Chien Wu (Sunny Pang) sang tetua Triad yang menitahkan Arian (Iko Uwais) guna menghabisi Ito dengan imbalan berupa jabatan penting.

Tak peduli seberapa tipis cerita dari seorang Timo Tjahjanto (turut merangkap sebagai sutradara) yang jelas dan pasti ia memberikan sebuah hiburan non-stop dengan aksi perkelahian over-the-top selam 2 jam. Timo enggan untuk menarik rem, kecuali kala ia memasukan unsur flashnback pula menyoroti kebersamaan Ito-Reina kala duduk bersama. Menyaksikan sebuah aksi kekerasan bisa saja mempengaruhi perkembangan Reina, itu pasti memang.

Sebelum perkelahian antara Ito-Arian. Kita terlebih dahulu digiring oleh sederet aksi yang tak kalah panas sebelum mencapai puncak. Salah satu adegan memperlihatkan Fatih (Abimana Aryasatya), Bobby (Zack Lee) serta Wisnu (Dimas Anggara) yang tengah dikepung oleh para algojo kiriman Yohan (Revaldo dalam comeback yang begitu cadas). Di sini aksi sarat kekerasan tampil, yang mana memberikan seorang Abimana Aryasatya bobot dramatik, pun menyenangkan kala Zack Lee tampil menggila.

Belum sampa situ, kita juga turut diperlihatkan duo pembunuh lesbian anggota Lotus, Alma (Dian Sastrowardoyo) dan Elena (Hannah Al Rashid) yang menarik jika dibuatkan film khusus. Tengah mengepung The Operator (Julie Estelle). Perkelahian ini jelas luar biasa epik, koreografer buatan Iko Uwais-seperti biasa penuh variasi pula taktis. Melihat Dian Sastrowardoyo menjilat jari tangan Hannah Al Rashid adalah sebuah keputusan yang tampil berani, pun saya belum menyebut tangannya yang begitu menyebalkan (in a good way). Hannah Al Rashid dengan tampilan meyakinkan (lihat adegan dalam lift plus sorot matanya yang intimidatif) atau sekuen ketika melakukan aksi bersama Julie Estelle di sebuah kamar yang berlanjut ke sebuah lorong penuh potongan tubuh. Ini membuktikan bahwa Timo bukanlah sutradara kemarin sore, pun dengan Julie Estelle yang semakin mengukuhkan beliau adalah aktris laga nomor satu milik Indonesia yang senantiasa santai memutus jari jemarinya.

Gerak kamera Gunnar Nimpuno (Modus Anomali, Killers, Pendekar Tongkat Emas) mampu menyoroti dan mengemas perkelahian begitu enak untuk di pandang, terlebih kala ia melakukan shot di atas, terlihat jelas koreografi yang tertata baik pula luwes. Sementara scoring dari duet maut Fajar Yuskemal-Aria Prayogi (The Raid, Headshot) yang memadukan nomor elektronik dan klasik ditambah pilihan-pilihan lagu menarik dari Timo (Benci untuk Mencinta dari Naif paling menonjol) setia mengiringi di belakang.

Hingga puncak perkelahian satu lawan satu yang dinanti tiba, Iko seperti biasa tampil lewat gerak taktis-Joe Taslim tampil lebih eksplosif-menciptakan sebuah aksi yang kelewat batas pula mendobrak sebuah aksi terbaik sejauh ini tanpa takut gunting sensor. The Night Comes for Us memang tak memiliki alur yang pasti,-namun saya sendiri tak mempermasalahkan hal demikian karena ia mampu menjadi sebuah tontonan yang berani pula menyenangkan. Saya pun rasanya tak keberatan jika harus menyambangi film ini demi sekedar sebuah tontonan pemuas dahaga lewat sekuen aksi yang tampil cadas itu.

SCORE : 4/5

Posting Komentar

0 Komentar