Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

DREADOUT (2019)

Diniati sebagai film "adaptasi gim pertama di Indonesia", DreadOut yang menyadur gim berjudul sama buatan Digital Happiness dari Indonesia ini menyimpan setumpuk potensi yang mampu mendobrak sekaligus membuka film bertemakan remaja supaya tampil menyenangakan (well....selama ini film horror remaja identik dengan sifat bodohnya). Diatas kertas, DreadOut garapan Kimo Stamboel memang menggiurkan dan sangat dinantikan oleh saya kala pengumuman pertamanya. Nyatanya, seperti kebanyakan adaptasi gim yang identik dengan sebuah "kutukan", DreadOut pun berjalan demikian dengan meninggalkan setumpuk tanya yang menggunung kala adegan hanya tersaji sedemikian repetitif.

Ya, saya sering menyebut bahwa sebuah film horror tak perlu skrip yang kuat, demikian pula yang sudah dicapai oleh Sebelum Iblis Menjemput tahun lalu rekaan Timo Tjahjanto sang bromance dari Kimo Stamboel dari Mo Brothers (Rumah Dara, Killers, Headshot) yang mampu menyulap skrip tipis dengan meningkatkan tensi cerita dan mengekspansinya dengan setumpuk teror yang berjalan maksimal. Pun menilik rekam jejak keduanya pun identik dengan sebuah gore pemuas mata. Maka, jangan heran jika terdapat kemiripan gaya dari keduanya. Itu sangat kentara dalam pembangunan teror pula teknis lainnya seperti membuka filmnya dengan semacam ritual yang turut menampilkan simbol ouroboros yang kala itu hendak di buka dan mantra berbahasa Sankskerta-Jawa dirapalkan oleh seorang wanita (Salvita Decorte).

Alur kemudian melompat menuju satu dekade kemudian kala Linda (Caitlin Halderman) seorang siswa SMA yang turut menyangga beban ekonomi dengan bekerja selepas pulang sekolah di sebuah minimarket diminta sang kakak kelas, Jessica (Marsha Aruan) guna mengantarnya ke sebuah gedung tua dekat sekolah. Dimintanya Linda bukan tanpa alasan, pasalnya Linda sendiri kenal dekat dengan si satpam penjaga, Kang Heri (Mike Lucock). Dengan sebuah anting berlian, maka Linda pun menyetujui ajakan Jessica yang berniat live instagram guna menambah viewers dan merengkuh popularitas di sosial media. Bersama Erik (Jefri Nichol), Dian (Susan Sameh), Alex (Ciccio Manassero) dan Beni (Irsyadillah) mereka menyambangi gedung tua yang membawa sebuah petaka kala sebuah portal menuju dimensi lain terbuka berkat sebuah kertas yang berisi mantra dirapalkan oleh Linda.

Dari sini awal terjadinya sebuah teror dimulai, kita disuguhkan makhluk berwujud pocong dengan senjata celurit pula sang penguasa, Hantu Kebaya Merah (Rima Melati Adams). Kala portal terbuka, semuanya tersaji begitu meyakinkan. Secercah harapan pun mulai timbul kala Kimo sebelumnya terlebih dahulu menyutradarai sebuah film horror bertajuk Bunian (2004) bersama para rekan sejawat mahasiswa di Australia. Namun selepas itu, naskah rekaannya justru tampil kurang memadahi yang berisikan repetisi adegan.

Ya. Alurnya berjalan kurang lebih seperti ini: Kolam terbuka-karakter tercebur-kolam tertutup-karakter berlari-karakter jatuh ke lubang-ulangi. Repetisi adegan itu tampil sangat kentara dan menyisakan setumpuk tanya. Seperti dalam sebuah adegan Linda dibuat bertanya-tanya kala flash handphone-nya bisa membunuh sang makhluk. Beni pun melerai bahwa Linda mempunyai "bakat khusus". Saya tentu mempertanyakan hal ini, bagaimana teknologi mampu mengalahkan klenik. Namun saya memafhuinya karena dalam realita pun demikian. Hingga semuanya tumpah ruah dalam sebuah adegan yang tersaji begitu "konyol", sebutlah antrean guna meloloskan diri darik kejaran Hantu Kebaya Merah, alih-alih yang harus mereka lakukan adalah lompat secara bersamaan.

Setidaknya, DreadOut digarap begitu meyakinkan dibanding film horror lokal bertemakan serupa. Soal mitologinya tersaji begitu jelas, pun demikian dengan tampilan sang makhluk yang tak digarap asal-asalan, jauh dari kesan menggelikan. Hanya saja sektor ceritanya sendiri kurang memadahi ketika scoring gubahan Fajar Yuskemal (Sebelum Iblis Menjemput, Apostle) setia menemani dengan begitu mumpuni. Ini yang menjadi kendala mengapa DreaOut kurang bersinar di tengah teror yang tampil meyakinkan dan mampu memacu adrenalin.

Namun Kimo sendiri sadar, tak ingin terus memfokuskan filmnya untuk tampil serius. Lontaran dialog yang berfungsi sebagai "ranjau pemantik tawa" pun mampu memantik tawa lepas. Itu yang terjadi kala saya menyaksikan filmnya berserta penonton lain di dalam bioskop yang sedikit menghalau keanehan naskahnya yang diisi dialog tak beraturan, saling bertabrakan pula menciptakan sebuah suasana yang cukup memantik tawa, sebutlah karakter yang gemar mencari sinyal.

Walaupun demikian, DreadOut tetaplah sebagai hiburan yang mampu meleburkan penat berkat setumpuk teror yang berjalan beriringan dengan sebuh tindakan yang menikam logika. Setidaknya, tata pergerakan kamera dari Kimo sendiri menciptakan sebuah suasana intens yang bak tengah memainkan gim-nya sendiri. Pula mengasyikkan melihat jajaran pelakon muda menampilkan sebuah performa yang meyakinkan. Pujian patut dialamatkan pada Caitlin Halderman dan Marsha Aruan yang keluar dari sebuah comfort zone miliknya. Sang aktris menampilkan sebuah totalitas yang tinggi kala dituntut untuk melakukan adegan yang berat sekalipun. Mike Lucock tampil sebagai sosok penyulut tawa. Serta chemistry Susan-Jefri-Ciccio-Irsyadillah cukup mengasyikan meski penuh dengan keterbatasan penokohan yang sama sekali kurang tergali.

Note: Terdapat dua credit-scene yang bisa saja menjembatani sebuah sekuel.

SCORE : 2.5/5

Posting Komentar

0 Komentar