The
Strangers (2008) adalah film yang nyaris tanpa plot dan penggalian
karakter sekalipun, bermodalkan ruangan gelap dengan sepasang kekasih
yang bertengkar dengan tambahan bahaya berupa sosok bertopeng yang siap
mengambil nyawa. Kuota durasi sepanjang 107 menit hanya dihabiskan untuk
bemain pada pola diatas. Satu dekade berselang Bryan Bertino selaku
sutradara kembali menampilkan filmnya, jelas ada sebuah pengalaman
untuk belajar dari hal tersebut dan bahkan kini bangku sutradara pun ia
serahkan kepada Johannes Roberts (The Other Side of the Door, 47 Meters
Down).
Tak hanya menampilkan dua karakter saja, Bertino yang turut dibantu Ben Ketai menambah karakternya tentang sebuah keluarga yang terdiri dari Mike (Martin Henderson) sang ayah, Cindy (Christina Hendricks) sang ibu, Luke (Lewis Pullman) sang anak laki-laki, dan Kinsey (Bailee Madison), sang anak perempuan sekaligus sumber masalah yang selalu memberontak pula bersikap ketus. Kenakalan Kinsey membuatnya dikirim ke sekolah asrama. Sebelum ia pergi, mereka berempat memutuskan berlibur guna menghabiskan waktu bersama sebagai keluarga. Tidak ada yang menyadari kebersamaan itu jadi yang terakhir kali ketika tiga orang asing bertopeng melancarkan aksinya.
Jelas jika menilik sinopsis diatas premisnya begitu tipis bahakan murahan sekalipun, tak sepeduli berapa tipis plotnya toh tujuan sebuah film thriller adalah menampilkan sebuah sadisme yang berujung pada kematian para tokohnya, dan kita pun tahu itu. Namun yang menjadi dasar utama adalah bagaimana Roberts sendiri menampilkan sekuen tersebut, menyakiti karakternya yang kemudian membuatnya kehilangan nyawa. The Strangers: Prey at Night pun terjatuh pada sebuah metode medioker yang usang dan terlampau jamak kita temu, ajang tusuk-menusuk tanpa henti pun dilakukan Roberts guna menjalankan aksinya.
Roberts memang hendak mengulang kesuksesan trik film horror tahun 80-90an, dimana mayoritas adegan begitu terinspirasi oleh film tenar macam Christine (1983), The Texas Chainsaw Massacre (1974), dan tentunya lagu-lagu 80an seperti Making Love Out of Nothing at All dan I Think We’re Alone Now yang sempat dipakai oleh Mother’s Day. Saya tak keberatan jika Roberts terinspirasi hal tersebut, namun jelas jika dibandingkan film pertamanya film ini adalah sebuah kualitas yang unggul.
Paruh pertama dihabiskan untuk bermain pada metode petak umpet serta kejar-kejaran bersama sang musuh, memang terasa repetitif dan bahkan seolah dibuat guna menambah durasi. Saya begitu terganggu kala karakternya kerap bertingkah bodoh, sebut saja ketika sebuah adegan karakternya memegang pelatuk, tinggal tekan maka sang musuh akan mati begitu saja, namun disini kekesalan saya memuncak sembari menanyakan pada diri sendiri untuk apa saya peduli pada karakternya jika karakternya sendiri urung peduli pada dirinya dan enggan untuk selamat dari marabahaya.
Paruh ketiga berjalan cukup baik kala sekuen adegan di kolam renang menjadi sebuah titik balik karakternya untuk berusaha menyelamatkan diri, meski ketiadaan momen mencekam yang diisi oleh lagu lawas. Saya pun turut bersemangat sembari mengharapkan karakternya akan selamat, disini juga pun menjadi turunnya tensi ketegangan yang perlahan mulai memudar meski dipacu adegan aksi yang melelahkan namun menciptakan sebuah kesan tersendiri kala karakternya mulai berusaha menyelamatkan diri yang membuat filmnya sengaja berjalan lambat. Namun, seperti yang telah saya singgung tadi, The Strangers: Prey at Night adalah sebuah lonjakan kualitas dari film pertamanya, meskipun kualitas itu berjalan beberapa langkah.
SCORE : 3/5
0 Komentar