Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

THE SHAPE OF WATER (2017)


Memang bukanlah sebuah premis yang bisa dibilang baru, premis ini sejatinya sering di eksploitasi maupun di eksplorasi. Terkait sebuah premis yang mendeskripsikan sebuah romantika beda spesies, sebelumnya ada Warm Bodies (manusia dengan zombie), The Host (manusia dengan alien) hingga yang paling fenomenal, Beauty and the Beast. Mengikuti jejak tersebut, sutradara Guillermo del Toro (Pan's Labyrinth, Hellboy, Crimson Peak) sebagai sebuah sajian romance yang tak hanya biasa, dan itu pun yang membuatnya meraih nominasi terbanyak di ajang bergengsi Oscar.

Tokoh utama dalam filim ini adalah seorang wanita tuna wicara bernama Elisa Esposito (Sally Hawkins) yang menjalani aktivitasnya mulai dari bangun tidur, masturbasi, memasak telur, menunggu bis dan bekerja sebagai seorang petugas kebersihan di sebuah laboratorium. Suatu hari, laboratorium tempat ia bekerja menerima sebuah kiriman berupa tabung berisi sebuah monster amfibi (Doug Jones) yang dibawa sekaligus ditangkap oleh Kolonel Richard Strickland (Michael Shannon). Disinilah masalah utama mulai tampil, berawal dari rasa ingin tahu Elisa akan sang monster, hingga berlanjut dekat dengan sang monster yang sering ia berikan telur rebus dan rutin memainkan musik untuknya. Hingga hubungan Elisa dengan sang monster pun makin dekat, memunculkan sebuah kepedulian akan kondisi sang monster yang acap kali disiksa dan di lakukan tak layak. Rencana penyelamatan pun dilakukan, sekaligus turut membawa Elisa kedalam sebuah lingkaran berbahaya dari seorang Strickland.


The Shape of Water berjalan generik mengikuti pola yang biasa film tampilkan. Mulai dari proses pengenalan akan karakter utama, hingga masuk ke ranah masalah utama. Walaupun demikian, del Toro tak menjadikannya sebuah sajian yang terasa hampa dan ringan, dalam filmnya ia turut menyelipkan isu rasisme serta homofobia sekalipun, yang turut menyinggung para penonton.Terlihat tampak jelas sekali pesan itu ia gambarkan lewat karakter Zelda (Octavia Spencer) rekan kerja Elisa sekaligus penerjemah bahasa isyaratnya yang seorang wanita berulit hitam, atau karakter Giles (Richard Jenkins), tetangga Elisa seorang pria paruh baya yang ternyata adalah seorang gay. Pun begitu romantika Elisa dengan sang monster merupakan sebuah dukungan del Toro atas kesetaraan.

Sejak dulu, del Toro memang piawai dalam membuat sebuah sajian berbentuk cerita seperti ini, kepiawaiannya ia gambarkan lewat balutan setting cerita yang begitu tampak realistis, yang membuat penonton seolah berada pada tempat itu yang kemudian mengajaknya untuk ikut berkoneksi dengan karakter. Itu pun tampil berhasil disini, kedekatan Elisa dengan sang monster bukan hanya sekedar pelarian atau rasa kasihan saja, melainkan ada sebuah rasa terkait kesamaan Elisa dengan sang monster, yang sejatinya ia anggap sebagai sebuah kekurangan. Itu pun tampil rasional disini, sebab kita tahu akan keadaan Elisa lewat gambaran Elisa lewat salah satu dialog dan adegan yang del Toro selipkan.


Gerakan kamera gerak cepat bidikan Dan Laustsen patut untuk di acungi jempol, demikian pula dengan gubahan musik dari Alexandre Desplat yang turut berkontribusi, terutama pada saat adegan yang menampilkan curahan hati seorang tokoh Elisa yang berdansa dengan sang pangeran, yang tak lain adalah monster amfibi itu. Itu sejatinya menjawab semua rasa yang ingin Elisa miliki. Sally Hawkins tampil begitu memikat memerankan tokoh Elisa yang tak hanya sekedar memerankan saja namun terlihat begitu menjelma bak Elisa asli, siaplah untuk bersaing dengan para nominator di Oscar, sementaa itu Doug Jones tampil dalam balutan kostum monster yang mampu memberikan nyawa bagi karakternya. Shannon mampu tampil begitu menyebalkan sebagai rival dua tokoh utama ini. Begitupun dengan Octavia Spencer, Richard Jenkins, Michael Stuhlbag (Robert Hoffstetler) yang tampil sesuai porsi masing-masing yang tak kalah memikatnya juga.


Menuju pertengahan hingga konklusi cerita yang dibuat oleh del Toro sendiri yang kemudian dibantu oleh Vanessa Taylor sedikit tersendat, meski sejatinya tak mengganggu pace cerita dalam balutan durasi 123 menit yang sejatinya terlalu panjang untuk ukuran film ini. Predictable mungkin bukan salah satunya kekurangan film ini, ending yang kemudian tampil cheesy pun tampil menutup cerita yang sejatinya telah terpampang jelas lewat posternya (spoiler).


SCORE : 3.5/5

Posting Komentar

0 Komentar