Sambut
Ready Player One garapan sang maestro Steven Spielberg, sang sutradara
yang mampu menciptakanm sebuah hiburan luar biasa bombastis tanpa harus
kehilangan esensi yang akan disampaikan filmnya juga turut memperhatikan
beragam detail aspek, membuat saya berceletuk "inilah film yang
sesungguhnya!". Dibanding pamer beragam visual effect yang hampir
menghiasi layar film ini, Spielberg
tetap mempertahankan pesan yang ingin ia usung sembari menikmati hiburan
tiada tara. Pesan yang begitu penting bahkan relevan dengan masa
sekarang, yakni terkait dunia maya.
Mengambil setting tahun 2045 dimana dunia tengah mengalami overpopulasi yang menjadikannya menjadi sebuah tempat kumuh, belum lagi korupsi, polusi hingga perubahan iklim membuat umat manusia untuk memilih "kabur" ke OASIS (Ontologically Anthropocentric Sensory Immersive Simulation), dunia virtual ciptaan James Halliday (Mark Rylance) yang dapat diakses melalui kacamata VR, di mana seseorang bebas menjadi siapa saja dan melakukan apa saja. Pindahkan pada masa sekarang, ganti VR dengan gadget berupa handphone, laptop, komputer maupun notebook maka anda akan mengalami hal serupa yang karakter film ini mainkan.
Karakter utama kita bernama Wade Watts (Tye Sheridan), bocah yatim piatu berusia 18 tahun yang tinggal di sebuah derah kumuh Columbus, Ohio, yang mana bak cerminan masyarakat kita yang gemar melakukan dan memamerkan diri di dunia maya (baca: sosial media). Karena merasa sosok aslinya payah, Wade pun gemar melakukan aktivitas di OASIS, menggunakan avatar bernama Parzival. Wade mengikuti easter eggs yang ditinggalkan Halliday sebelum meninggal, di mana sang pemenang akan mewarisi tahta kepemilikan OASIS beserta hadiah-hadiah lainnya. Masalahnya, bukan hanya Wade saja yang menginginkan hal itu, diantaranya hadir Nolan Sorrento (Ben Mendhelson), beserta perusahaan penyedia peralatan VR miliknya, IOI (Innovative Online Industries), yang berambisi menguasai OASIS.
Meskipun harapan saya untuk menyelami dunia OASIS beserta karakter yang mereka mainkan tak kunjung terpenuhi, saya tak keberatan menikmati beragam dunia ciptaan Spielberg, dimana saya turut diajak bersama Parzival melewati beragam rintangan yang siapa menerjang, mulai dari bola-bola raksasa, T-Rex hingga kehadiran King Kong yang siap menggagalkan rencana merebut easter eggs, sungguh petualangan yang memanjakan mata. Ini memang baru menginjak tahap pertama, belum setengahnya, yang urung untuk Parzival menyerah menghadapi semua ini. Belum lagi kehadiran sosok avatar bernama Art3mis (Olivia Cooke) sosok dari animasi Akira yang menjadi pujaan Parzival semakin menambah semangat untuk berpetualang.
Balapan tersebut membuktikan bahwa Spielberg piawai membangun tensi, tak hanya sebatas menjual visual effect yang memanjakan mata. Kita akan terperangah melihat mobil tabrakan, amukan King Kong hingga puncak akhir kala pop culture tahun 80-an hadir begitu masif, mengobati kerinduan, menyulut decak kagum hingga membuat betah menyaksikam kisah petualangan yang bak gambaran realita yang kita tahu sekarang, dan pastinya seiring berjalannya waktu akan mengalami modernisasi yang memang tampil signifikan.
Disadur dari novel fenomenal berjudul sama karangan Ernest Cline (turut merangkap sebgai penulis naskah bersama Zak Penn) membuat petualangan kaya kultur 80-an ini begitu mengasyikkan, saya belum menyebut beragam set piece lain seperti lantai dansa nol gravitasi dengan iringan lagu Stayin Alive atau melintasi Hotel Overlook hingga puncaknya oada klimaks menampilkan pergumulan tiga raksasa merupakan sebuah fase alamiah yang wajib filmnya lalui yang terus menampilkan decak kagum yang tak henti hingga atensi pun tak ingin rasanya untuk luntur, terlebih ketika menyibak fase tiga kunci.
Mark Rylance menampilkaan sebuah performa yang penuh akan sensitivitas dibalik sifatnya yang introvert yang seiring berjalannya waktu mengalami sebuah pendewasaan, pun dengan duet Tye Sheridan beserta Olivia Cooke menumbuhkan jiwa petualang yang tak pernah luntur, semangat anak muda hingga romansa tersaji begitu mulus. Hal demikian sedikit mampu menutupi kekurangan filmnya yang terlalu lama bermain di dunia maya tanpa adanya sebuah keseimbangan terhadap realita. Namun apa daya, kebanyakan dari kita bersikap demikian, terlalu hidup di dunia maya hingga melupakan realita yang semestinya lebih patut kita jalani. Pilihan menyeimbangkan keduanya merupakan sesuatu yang sangatlah bijak.
SCORE : 4.5/5
0 Komentar