Adaptasi
dari novel rekaan Nikolai Leskov bertajuk "Lady Macbeth of the Mtesensk
District", Lady Macbeth sesuai judulnya banyak terinspirasi oleh tokoh
karya penulis terkenal dan klasik William Shakespeare, istri dari dari
Macbeth, yakni Lady Macbeth. Dalam pengejawantahannya ini, sutradara
debutan William Oldroyd memaparkan kisah yang terbilang abusive,
memadukan ambisi, sikap kesepian serta
hasrat yang menggebu yang sulit untuk di bendung kala hati sudah jauh
dari kesan tenang, membara di dalam sehingga tak pelak melakukan
tindakan amoral. Begitulah susunan Lady Macbeth, memaparkan sebuah kesan
yang kemudian kita sebut pendangkalan moral.
Semua yang terjadi pada Katherine (Florence Pugh) tak pelak begitu terjadi tanpa alasan. Ia dipaksa menikah dengan seorang pria yang umurnya dua kali lipat lebih tua darinya, Alexander (Paul Hilton) lantaran ia di beli oleh seorang pria kaya bernama Boris (Christopher Fairbank). Keterpaksaan dalam diri Katherine jelas terpancar dari raut wajahnya, rela menjadi korban human trafficking, diambil hak asasi-nya dan kemudian lebih parah lagi sang suami yang menikahinya justru acuh begitu saja. Hal itu terjadi kala malam pertama, sang suami enggan untuk menyentuhnya sedikitpun.
Suatu hari sang suami serta sang mertua pergi meninggalkan Katherine di rumah bersama seorang budak negro handmaiden-nya bernama Anna (Naomi Ackie) disinilah puncak kebebasan akan sebuah hasrat di realisasikan, Katherine menjalin hubungan terlarang bersama seorang pekerja baru di kebun milik suaminya. Pria itu adalah Sebastian (Cosmo Jarvis) yang bersedia menjadi pemuas birahi sekaligus air kala kehausan akan kebebasan terjadi, semakin lama hubungan terlarang ini semakin membuncah, hingga mendoong masuk ke dalam sebuah rentetan konspirasi serta pembunuhan yan keji nan sadistis.
Dengan Setting tahun 1865 di Rural England serta balutan kostum victorian yang senantiasa di pakai Katherine, jelas menambah estetika berbentuk visualisasi yang cantik, semua tak terlepas dari bidikan kamera Ari Wegner yang menangkap landscape berupa perkebunan hingga perumahan otentik sebagai ranah bermain perilaku abusive. Lady Macbeth begitu tampil misterius kala kepiawaian Oldroyd terpampang begitu nyata lewat karakter Katherine dengan wajah innocent-nya mampu menciptakan nuansa kejam nan keji lewat tingkahnya. Semua jelas bukan tanpa alasan, raut muka Katherine menjawab atas semua gambaran dari moral yang sudah kelewat batas, begitupun dengan aktris newcommer British. Florence Pugh yang mampu memfasilitasi itu semua.
Naskah garapan penulis debutan Alice Birch pun bukan kaya di ranah kognitif saja, melainkan afektif kala ia mampu memasukkan unsur lain seperti rasisme dan human trafficking yang kemudian berpadu dalam tindaan yang lebih dari itu. Hasrat serta keinginan Katherine untuk ingin bersama Sebastian adalah bukti selebrasi dari yang namanya penjara kehidupan. Bertransformasi kala semua terusik, tingkah keji pun dilakukan demi sebuah kepuasan hasrat yang kemudian turut menghadirkan rasa bersalah serta penyesalan yang sesekali hinggap di dalam sebuah kemenangan. Emosi di tekankan, rasa turut bermain, begitulah kinerja Oldroyd dalam membangun kisahnya, semua berawal dari sebuah keterpurukan hati yang kemudian menciptakan sebuah tingkah tak terkendali.
Ya, memang Lady Macbeth tampil begitu dark dan misterius serta adegan yang kelewat abusive dari seorang wanita yang dikuasai pikiran yang kelewat gila, menghiraukan moral. Namun sedari awal hingga akhir sulit untuk terkecoh ke lain pandangan, narasi-nya sendiri bergerak cepat dan tepat menciptakan sebuah kekacaun dalam sebuah ketenangan. Dingin, menusuk serta melampaui batas, begitulah kiranya Lady Macbeth tampil.
SCORE : 4/5
0 Komentar