Masyarakat kita acap kali enggan untuk menerima maupun menganggap
sesuatu yang terlihat "beda". Itu terbukti kala sering kita dengar
maupun lihat aksi bullying ataupun penindasan terhadap perempuan
sekalipun. Dampak yang dilakukan sang penindas terhadap yang di tindas
(baca: korban) bukan dalam bentuk fisik saja, melainkan psikis
sekalipun. Tak ayal rasa traumatik itu
tampil dalam skala yang besar. A Fantastic Women atau dalam bahasa
Spanyol Una mujer fantástica mencoba mengangkat hal tersebut,
meneriakkan hak atas nama kebebasan berpendapat serta hak yang kemudian
kita sebut diversity tehadap seorang transgender.
Marina Vidal (Daniela Vega) adalah seorang penyanyi bar dan seorang pramusaji di sebuah cafe. Ia tinggal bersama seorang pria berusia 53 tahun, Orlando (Francisco Reyes) yang juga menjadi kekasihnya. Musibah menimpa Marina kala sang kekasih mendadak terkena serangan jantung. Marina memang sigap membawanya ke Rumah Sakit, namun naas sang kekasih kini sudah tak bernyawa lagi. Di tengah rasa sedih dan kehilangannya akan orang terkasih, muncul masalah baru terkait kematian sang kekasih yang menyeret Marina ke dalam sebuah polemik yang pelik. Marina di tuduh sebagai dalang di balik hilangnya sang kekasih.
Sangat mudah untuk menebak cerita berkembang, sang sutradara jelas menyoroti psikis Marina pasca meninggalnya sang kekasih. Bukan mengenai rasa kehilangan lagi melainkan bagaimana cara untuk keluar serta menyelesaikan masalah tersebut. Sebastián Lelio yang kemudian merangkap sebagai penulis naskah yang turut di bantu oleh Gonzalo Maza jelas mengetahui betul bagaimana menangani itu semua. Konflik di tekan, psikis terkait rasa pun turut bermain. Ini yang membuat "A Fantastic Women" begitu stabil. Memang ini bukanlah trik yang bisa di bilang baru, ke-efektifan kinerja Lelio adalah pondasi utama mengapa film ini begitu tampil memukau.
Isu mengenai LGBT serta impact yang di tampilkan Lelio memang tak terlalu eksplisit dalam meneriakkannya, ia lebih cenderung tampil pelan namun mampu mencengkram lewat adegan tindak-tanduk yang dilakukan sang penindas terhadap Marina, adegan kala seseorang menganggap aneh gender Marina begitu menusuk emosi karakter, Marina memang jarang sekali melawan, ia lebih sering menuruti kemauan sang penindas, termasuk kala ia dimintai keterangan oleh seorang penyidik bernama Alessandra (Antonia Zegers) maupun ketika diminta untuk mengembalikan mobil kepada sang istri Orlando, Sonia (Aline Küppenheim) serta tindakan kekerasan oleh Bruno (Nicolás Saavedra) anak laki-laki Orlando. Inilah saatnya untuk Daniela Vega unjuk kebolehan, ekspresi dari raut muka yang datar nyatanya mampu menyimpan luka yang begitu dalam.
Seperti yang telah saya singgung di atas, A Fantastic Women tampil begitu stabil kala kinerja Lelio memaparkan kisah yang di dominasi pesan terkait liberty and diversity ini mudah untuk di terima penonton. Narasi-nya berjalan pelan namun mampu mencapai klimaks dengan begitu baik, proses penerimaan serta kekuatan karakter menjadi sajian penutup yang begitu realistis. Marina memang seorang transgender, ia sering mengalami penindasan fisik dan psikis, mencari jawaban atas semuanya berada pada diri karakter sendiri, yang kemudian menemukannya pada sebuah studi karakter untuk tampil "be yourself and do what you like, and like what you do".
Kala karakter tampil dengan perlakuan yang ia dapat, musik gubahan Matthew Herbert tampil menguatkan, memberikan semangat akan karakter, Pun dengan bidikan kamera dari BenjamÃn Echazarreta yang turut memberikan latar yang menyokong cerita, meskipun tak menampilkan keindahan luar biasa, tangkapan kamera-nya sumbangsih memberikan mana, seperti "jalan" yang sering menjadi sorotan, menguatkan karakternya untuk tetap berjalan di tengah cambuk kehidupan. Menjalani hidup dengan apa adanya dan menerima serta tak perlu komplain dan menyesali apa yang terjadi.
SCORE : 4/5
Marina Vidal (Daniela Vega) adalah seorang penyanyi bar dan seorang pramusaji di sebuah cafe. Ia tinggal bersama seorang pria berusia 53 tahun, Orlando (Francisco Reyes) yang juga menjadi kekasihnya. Musibah menimpa Marina kala sang kekasih mendadak terkena serangan jantung. Marina memang sigap membawanya ke Rumah Sakit, namun naas sang kekasih kini sudah tak bernyawa lagi. Di tengah rasa sedih dan kehilangannya akan orang terkasih, muncul masalah baru terkait kematian sang kekasih yang menyeret Marina ke dalam sebuah polemik yang pelik. Marina di tuduh sebagai dalang di balik hilangnya sang kekasih.
Sangat mudah untuk menebak cerita berkembang, sang sutradara jelas menyoroti psikis Marina pasca meninggalnya sang kekasih. Bukan mengenai rasa kehilangan lagi melainkan bagaimana cara untuk keluar serta menyelesaikan masalah tersebut. Sebastián Lelio yang kemudian merangkap sebagai penulis naskah yang turut di bantu oleh Gonzalo Maza jelas mengetahui betul bagaimana menangani itu semua. Konflik di tekan, psikis terkait rasa pun turut bermain. Ini yang membuat "A Fantastic Women" begitu stabil. Memang ini bukanlah trik yang bisa di bilang baru, ke-efektifan kinerja Lelio adalah pondasi utama mengapa film ini begitu tampil memukau.
Isu mengenai LGBT serta impact yang di tampilkan Lelio memang tak terlalu eksplisit dalam meneriakkannya, ia lebih cenderung tampil pelan namun mampu mencengkram lewat adegan tindak-tanduk yang dilakukan sang penindas terhadap Marina, adegan kala seseorang menganggap aneh gender Marina begitu menusuk emosi karakter, Marina memang jarang sekali melawan, ia lebih sering menuruti kemauan sang penindas, termasuk kala ia dimintai keterangan oleh seorang penyidik bernama Alessandra (Antonia Zegers) maupun ketika diminta untuk mengembalikan mobil kepada sang istri Orlando, Sonia (Aline Küppenheim) serta tindakan kekerasan oleh Bruno (Nicolás Saavedra) anak laki-laki Orlando. Inilah saatnya untuk Daniela Vega unjuk kebolehan, ekspresi dari raut muka yang datar nyatanya mampu menyimpan luka yang begitu dalam.
Seperti yang telah saya singgung di atas, A Fantastic Women tampil begitu stabil kala kinerja Lelio memaparkan kisah yang di dominasi pesan terkait liberty and diversity ini mudah untuk di terima penonton. Narasi-nya berjalan pelan namun mampu mencapai klimaks dengan begitu baik, proses penerimaan serta kekuatan karakter menjadi sajian penutup yang begitu realistis. Marina memang seorang transgender, ia sering mengalami penindasan fisik dan psikis, mencari jawaban atas semuanya berada pada diri karakter sendiri, yang kemudian menemukannya pada sebuah studi karakter untuk tampil "be yourself and do what you like, and like what you do".
Kala karakter tampil dengan perlakuan yang ia dapat, musik gubahan Matthew Herbert tampil menguatkan, memberikan semangat akan karakter, Pun dengan bidikan kamera dari BenjamÃn Echazarreta yang turut memberikan latar yang menyokong cerita, meskipun tak menampilkan keindahan luar biasa, tangkapan kamera-nya sumbangsih memberikan mana, seperti "jalan" yang sering menjadi sorotan, menguatkan karakternya untuk tetap berjalan di tengah cambuk kehidupan. Menjalani hidup dengan apa adanya dan menerima serta tak perlu komplain dan menyesali apa yang terjadi.
SCORE : 4/5
0 Komentar