Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

THE FLORIDA PROJECT (2017)

Ketika saya menonton The Florida Project dan kemudian sampai diakhir durasi, perasaan setelah menontonnya begitu sangat membekas lama dipikiran, "ini bukan film, tapi kehidupan nyata!" begitu ujar saya. Dan seperti apa yang saya pikirkan, The Florida Project berjalan layaknya kehidupan sehari-hari, nyaris tak memiliki plot tersendiri. Karya Sean Baker ini memang menjauhkan filmnya dari kesan komikalisasi, dramatisasi maupun romantisasi, namun inilah apa yang kita sebut naturalisasi.

Ya, seperti yang telah saya singgung filmnya seolah tak memiliki plot, mayoritas film diisi oleh aktivitas sehari-hari dari Halley (Bria Vinaite) wanita bertato dan berambut biru bersama sang buah hati, Moonee (Brooklyn Prince) bocah polos yang berkata kasar dan hanya tahu satu hal, bermain. Mereka berdua tinggal disebuah motel kecil berwarna ungu di pinggiran kota yang dikelola oleh Bobby (William Dafoe). Jika bagi Moonee istana berwarna ungu itu adalah tempat bermain yang menyenangkan, lain halnya dengan sang ibu, Halley yang menganggap tempat itu sebagai sebuah tempat berlindung dari kenyataan.

Yang membuat saya jatuh cinta pada film ini adalah bagaimana Baker membuatnya terasa begitu realistis, menggambarkan sebuah kemiskinan tanpa perlu tampil menye-menye maupun terlampau miskin. Baker memberi porsi lebih kepada karakternya yang kemudian mengeskalasi performa dari pemainnya. Chemistry antar keduanya pun berjalan natural, mengukuhkan peribahasa "buah memang tak jatuh jauh dari pohonnya". Ya, Moonee dan Halley bisa kita ibaratkan dua tokoh yang mencoba bersembunyi dari realita, tak ingin menganggap dirinya miskin, menjalankan kehidupan seperti apa yang ingin mereka lakukan meski setiap ketukan pintu yang terjadi satu minggu sekali harus mereka hadapi.

Itu yang membuatnya terasa begitu menohok, ya secara tidak langsung filmnya menggambarkan realita yang bisa (dan mungkin) saja terjadi pada kita memudahkan kita sebagai penonton terasa dekat dengan karakternya pula dengan materi yang dibawa oleh Baker sendiri. Tensi pun kian meningkat kala Baker selalu memacu aktivitas Moonee dan Halley yang jauh dari kesan baik, merekan bahkan enggan untuk membayar makanan di sebuah restoran dan memilih menyelundupkan makanan, atau menjual sebuah barang dengan kualitas KW dengan harga original, bahkan mereka pun tak segan bertindak kala orang lain mencemooh mereka.

Jika Viniate dan Prince adalah wujud sebuah diversity ditengah eskapisme realita kehidupan, maka Dafoe adalah hati film ini, ia memang pemilik motel ungu itu, namun ia pun tak segan bertindak kala penghuni motel melanggar norma, memperbaiki barang jika ada yang rusak serta dengan sabar menyikapi tindakan orang macam Halley dan Moonee. Menuju klimaks sisi naturalisasi dari raut wajah Dafoe menggambarkan rasa khawatir yang amat dalam, hanya bisa terdiam menerima kenyataan.

Menuju konklusi, barulah kita paham betul akan tujuan film ini. Baker pun turut menyulut emosi para karakternya dan Moonee adalah target utama dari semua itu, saya tantang anda untuk tak memberikan hati maupun perasaan terhadap konklusinya yang begitu membalikan mood dari awal filmnya yang telah dibangun berbanding terbalik. Namun begitulah realita dalam kehidupan terkadang banyak yang tak ingin kita inginkan.

SCORE : 4/5

Posting Komentar

0 Komentar