Ketika
saya menonton The Florida Project dan kemudian sampai diakhir durasi,
perasaan setelah menontonnya begitu sangat membekas lama dipikiran, "ini
bukan film, tapi kehidupan nyata!" begitu ujar saya. Dan seperti apa
yang saya pikirkan, The Florida Project berjalan layaknya kehidupan
sehari-hari, nyaris tak memiliki plot tersendiri. Karya Sean Baker ini
memang menjauhkan filmnya dari kesan komikalisasi, dramatisasi maupun romantisasi, namun inilah apa yang kita sebut naturalisasi.
Ya, seperti yang telah saya singgung filmnya seolah tak memiliki
plot, mayoritas film diisi oleh aktivitas sehari-hari dari Halley (Bria
Vinaite) wanita bertato dan berambut biru bersama sang buah hati, Moonee
(Brooklyn Prince) bocah polos yang berkata kasar dan hanya tahu satu
hal, bermain. Mereka berdua tinggal disebuah motel kecil berwarna ungu
di pinggiran kota yang dikelola oleh Bobby (William Dafoe). Jika bagi
Moonee istana berwarna ungu itu adalah tempat bermain yang menyenangkan,
lain halnya dengan sang ibu, Halley yang menganggap tempat itu sebagai
sebuah tempat berlindung dari kenyataan.
Yang membuat saya
jatuh cinta pada film ini adalah bagaimana Baker membuatnya terasa
begitu realistis, menggambarkan sebuah kemiskinan tanpa perlu tampil
menye-menye maupun terlampau miskin. Baker memberi porsi lebih kepada
karakternya yang kemudian mengeskalasi performa dari pemainnya.
Chemistry antar keduanya pun berjalan natural, mengukuhkan peribahasa
"buah memang tak jatuh jauh dari pohonnya". Ya, Moonee dan Halley bisa
kita ibaratkan dua tokoh yang mencoba bersembunyi dari realita, tak
ingin menganggap dirinya miskin, menjalankan kehidupan seperti apa yang
ingin mereka lakukan meski setiap ketukan pintu yang terjadi satu minggu
sekali harus mereka hadapi.
Itu yang membuatnya terasa
begitu menohok, ya secara tidak langsung filmnya menggambarkan realita
yang bisa (dan mungkin) saja terjadi pada kita memudahkan kita sebagai
penonton terasa dekat dengan karakternya pula dengan materi yang dibawa
oleh Baker sendiri. Tensi pun kian meningkat kala Baker selalu memacu
aktivitas Moonee dan Halley yang jauh dari kesan baik, merekan bahkan
enggan untuk membayar makanan di sebuah restoran dan memilih
menyelundupkan makanan, atau menjual sebuah barang dengan kualitas KW
dengan harga original, bahkan mereka pun tak segan bertindak kala orang
lain mencemooh mereka.
Jika Viniate dan Prince adalah wujud
sebuah diversity ditengah eskapisme realita kehidupan, maka Dafoe adalah
hati film ini, ia memang pemilik motel ungu itu, namun ia pun tak segan
bertindak kala penghuni motel melanggar norma, memperbaiki barang jika
ada yang rusak serta dengan sabar menyikapi tindakan orang macam Halley
dan Moonee. Menuju klimaks sisi naturalisasi dari raut wajah Dafoe
menggambarkan rasa khawatir yang amat dalam, hanya bisa terdiam menerima
kenyataan.
Menuju konklusi, barulah kita paham betul akan
tujuan film ini. Baker pun turut menyulut emosi para karakternya dan
Moonee adalah target utama dari semua itu, saya tantang anda untuk tak
memberikan hati maupun perasaan terhadap konklusinya yang begitu
membalikan mood dari awal filmnya yang telah dibangun berbanding
terbalik. Namun begitulah realita dalam kehidupan terkadang banyak yang
tak ingin kita inginkan.
SCORE : 4/5
0 Komentar