Tentu
dari kita semua pernah mengalami yang namanya mengerjakan soal ujian.
Mengerjakan soal ujian jelas adalah sebuah hal yang memusingkan juga
melelahkan, Namun jika adanya aksi contek-mencontek bersama teman jelas
membuka harapan, setidaknya itu adalah jalan dari semua kesulitan soal
ujian yang kita hadapi, namun mencontek pun perlu memperhatikan timing
yang jadi presisi. Kejelian menggunakan
penghapus atau melalui media sepatu pun setidaknya perlu dilakukan demi
memperoleh sebuah jawaban soal. Namun lewat tangan Nattawut Poonpiriya
(Countdown) semua itu berubah menjadi sebuah sajian heist yang
menegangkan, bukan uang yang di cari melainkan jawaban soal ujian.
Poonpiriya menyulap anak sekolah layaknya anak buah Danny Ocean yang haus
akan sebuah jawaban ujian.
Terinspirasi dari kasus kecurangan tes SAT di Cina, Bad Genius mengetengahkan kisah Lynn (Chutimon Chuengcharoensukying) yang berkat kepintarannya ia di terima oleh sekolah prestisius, meringankan beban sang ayah (Thaneth Warakulnukroh). Di sekolah Lynn berteman dengan Grace (Eisaya Hosuwan) yang tidak seperti dirinya, jauh dari definisi jenius. Didasari rasa setia kawan sekaligus kegemaran "membagi contekan" dari sang guru, Lynn membantu Grace. Hingga itu semua kemudian menghasilkan sebuah hal yang tak terencana yang berubah menjadi aksi pencontekan masif yang di gawangi oleh Lynn yang bersembunyi dalam kedok les piano.
Kepiawaian Nattawut jelas sudah terendus dari awal, berawal dari aksi iseng kemudian melibatkan setumpuk uang, dan juga contekan yang terstruktur. Penonton akan di but terperangah melihat aksi yang mungkin hanya akan di lakukan oleh orang sehebat dan senekat Lynn. Hingga puncaknya adalah tes STIC yang skalanya tereskalasi sampai taraf internasional sembari menambahkan satu lagi tokoh siswa jenius bernama Bank (Chanon Santinatornkul). Berbeda dengan Lynn, walau sama-sama berasal dari keluarga kurang mampu (bentuk eksplorasi film atas kondisi sosial masyarakat Thailand), Bank menjunjung tinggi kejujuran.
Naskah garapan Nattawut bersama Tanida Hantaweewatana dan Vasudhorn Piyaromna jelas sudah mempersiapkan gelaran aksi mencontek yang tersusun rapi, memang jika menilik taktik yang di lakukannya jelas terlampau rumit. Namun apa yang melatar belakangi hal tersebut memperkuat niat tadi. Pace filmnya tak henti menciptakan sebuah ketegangan hingga semuanya tumpah ruah pada third act yang turut melibatkan sebuah pengkhianatan. Meski puncaknya terus bertubi-tubi mendapat rintangan, namun tensi yang Nattawut buat tidak pernah surut, terus melaju sampai titik nadir film ini.
Bad Genius turut bertindak selaku kritik terhadap sistem pendidikan yang tak hanya bisa diaplikasikan di Thailand, juga seluruh dunia. Para penyedia edukasi yang konon menjunjung tinggi kejujuran lewat tindakan mengecam kegiatan saling contek siswa yang kerap terjadi didorong asas kesetiakawanan tapi justru melakukan kecurangan jauh lebih besar tau boleh dibilang lebih terkutuk diberi sindiran. Meski halus, sindiran itu amat menampar, menghasilkan ambiguitas moral mengiringi perjalanan karakternya menyadari kebusukan dunia sekitar yang turut selaras dengan tone film, di mana paruh awal kental rasa high school drama penuh kehangatan canda pertemanan, lalu bergerak makin serius (meski tak menjurus kelam) mencapai akhir.
Berbicara mengenai moral value, konklusinya memang enggan mewakili film heist, ini lebih pada glorifikasi karakternya yang terbawa sifat manusiawi. Saya memafhumi keputusan itu, toh tujuan utama film ini adalah mengkritisi sistem edukasi yang acap kali mencoreng nilai edukasi, miris memang. Para pelakon turut memfasilitasi dan menambah ketegangan terealisasi Chutimon Chuengcharoensukying mewakili karakter yang terobsesi atas kekayaan, sementara Eisaya Hosuwan dapat kita lihat dari binar matanya bahwa ia melakukan semua ini karena terpaksa. Bad Genius adalah sajian jenius yang turut membuat karya sinematik begitu penting untuk di simak.
SCORE : 4/5
0 Komentar