Sejatinya,
Ayat-Ayat Cinta tak perlu memiliki sekuel kalau bukan karena kesuksesan
film pertamanya yang menjadi sebuah fenomena. Hal demikian tentu
menarik sang penulis kondang dan juga salah satu di antara novelis
favorit saya, Habiburrahman El Shirazy lantas meneruskan kisah
perjuangan cinta seorang pria bernama Fahri (Fedi Nuril), namun kali ini
bukanlah Kairo lagi, melainkan Edinburgh, Skotlandia.
Fahri yang kini hidup sukses dan mapan di Edinburgh jelas memiliki
salah satu kekurangan, yakni Aisha yang kini entah dimana, apakah ia
masih hidup ataupun sudah meninggal kala kepergiannya sebagai salah satu
relawan di Palestina nyaris tak ada kabar. Tentu saja Fahri yang
seorang manusia biasa merasakan dilema. Namun kesedihan itu ia
sembunyikan, meski acap kali ia menangis. Ketegaran hati Fahri ia
wujudkan dengan melakukan hal yang baik, seperti menolong Nenek Catarina
(Dewi Irawan dengan kemampuannya mengolah rasa) hingga memperkerjakan
seorang imigran bernama Sabina (Dewi Sandra). Tentu kebaikan Fahri
menyulut atensi para wanita untuk mendekatinya, seperti Hulya (Tatjana
Saphira) sepupu Aisha yang tengah menempuh S2, ataupun Brenda (Nur
Fazura) seorang pengacara yang terpikat atas kebaikan Fahri hingga Keira
(Chelsea Islan) wanita yang menyalahkan Islam atas kematian sang ayah
yang jika kita tengok di trailer kebencian Keira berubah dan meminta
Fahri untuk menikahinya.
Sama halnya seperti di film
pertama, Fahri memang masih menjadi pria impian para akhwat, baik itu
tergambar melalui karakternya ataupun para penonton yang tengah
menyaksikannya. Ayat-Ayat Cinta 2 mengetengahkan kisah Fahri yang
terjebak dan dilema akan masa lalu, itu memang benar. Keputusan Guntur
Soeharjanto untuk tak mendramatisasi kisah Fahri memang patut untuk di
apresiasi begitu pula dengan filmnya yang enggan untuk menceramahi.
Namun melihat film Ayat-Ayat Cinta 2 sendiri seolah kita tengah
menyaksikan episode demi episode kebaikan Fahri yang menjadikannya sosok
pria yang terlampau sempurna namun dilema akan cinta, sehingga dilema
itu yang membutakan hatinya atas pencarian yang ia cari selama ini
ternyata berada di sampingnya.
Saya tak ingin menyebut
karakter Fahri bodoh dalam membuka cara pandang, ia memang sosok yang
pintar dan menjunjung tinggi sebuah toleransi, bahkan Bhineka Tunggal
Ika pun turut ia bahas dalam sesi perdebatan yang di sajikan terlampau
singkat. Keenggana Fahri untuk merelakan Aisha memang terlampau singkat,
cukup lewat pembicaraan singkat dengan Misbah (Arie Untung). Ini yang
menjadi masalah utama, naskah garapan Alim Sudio dan Ifan Ismail memang
terlampau tipis dan di paksa untuk berjalan selama 2 jam kurang lebih.
Pun dengan debat mengenai perlakuan terhadap wanita yang di tampilkan
seadanya.
Menuju konklusi, proses tentang keikhlasan Fahri
berujung sia-sia, karena Fahri justru terus terjebak dalam kubangan masa
lalu, hingga twist ending pun muncul mengenai ilmu medis yang bisa saja
memancing tawa dan dalam prosesnya sendiri terlampau singkat. Ayat-Ayat
Cinta 2 jelas mempunyai tujuan mengulangi kesuksesan film pertama
sekaligus memuaskan dahaga para akhwat pemuja Fahri yang tak lain adalah
pangsa utama penonton filmnya. Meskipun naskah yang terlalu di
panjangkan dan penuh dengan lubang sekalipun tak perlu penting untuk di
perhatikan.
Melihat track record Fedi Nuril yang memerankan
karakter Fahri jelas bukan kali pertama ia tampilkan, Fedi terjebak pada
penokohan yang sama sekalipun itu dalam film yang berbeda. Tatjana
Saphira serta Chelsea Islan adalah pendukung yang solid, Tatjana dengan
kesabarannya, Chelsea dengan amarahnya. Dewi Sandra melengkapi momen
dramatik yang bisa saja membuat penonton larut dalam tangis. Ayat-Ayat
Cinta 2 serupa dengan karya Guntur Soeharjanto sebelumnya, sebut saja 99
Cahaya di Langit Eropa dan sekuelnya. Megah dalam visualisasi, namun
rapuh dalam naskah dan eksekusi. Pun sama dengan scoring yang
menggelegar dari Tya Subiakto yang turut melengkapi.
SCORE : 2.5/5
0 Komentar