Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

THE AGE OF SHADOWS (2016)

Selain efektif membangun nuansa seru dan mencekam sekaligus menyulut simpati bahkan empati, yang membuat historical drama berlatarkan masa penjajahan atau masa perang dunia masih eksis di eksplorasi para filmmaker adalah menciptakan sebuah gesekan yang menimbulkan kohesi yang kuat, ya meskipun plot-nya tipis sekalipun ia mampu menghantarkan sebuah impresi yang kuat bahkan mengikat serta memikat secara bersamaan. The Age of Shadows garapan sutradara Kim Jee-won (A Tale of Two Sisters, I Saw the Devil) adalah salah satu dari sekian historical drama yang masuk kategori tersebut.

Bersetting tahun 1920-an pada saat Korea Selatan masih berada di bawah kependudukan Jepang, hadir salah satu klan yang mencoba bebas dari tirani kependudukan tersebut, mereka adalah the Righteous Brotherhood. Lee Jung-Chool (Song Kang-ho) merupakan salah satu mantan dari grup tersebut, dan kini ia menjadi polisi bagi Jepang. Suatu ketika ia diperintahkan untuk menghancurkan the Righteous Brotherhood, dan cara yang ia gunakan adalah membangun koneksi dengan Kim Woo-Jin (Gong Yoo). Tak banyak yang tahu bahwa Woo-Jin adalah bukanlah sosok biasa, ia adalah pemimpin regional the Righteous Brotherhood. Dua pria tersebut semakin akrab, namun siapa sangka rasa curiga satu sama lain kerap muncul, terlebih setelah the Righteous Brotherhood menyadari bahwa ada mata-mata di dalam kelompok mereka.

Tak ada yang spesial memang jika menilik premis yang di angkat, kita tahu aksi yang akan di suguhkan berupa spy games dengan taktik menipu dan tertipu. Ya, The Age of Shadows tak jauh dari demikian, namun yang membuat ia terasa spesial adalah Jee-woon mampu menempatkan timing yang pas. Paruh awal ia memang langsung mengedor jantung penonton, menyajikan aksi kejar-kejaran yang di temani desingan peluru menciptakan nuansa yang mencekam sekaligus mencekat, setelah itu rasa nyaman masuk, penonton di ajak untuk dekat dengan penonton guna menciptakan koneksi yang menghasilkan sebuah simpati.

Kim Jee-woon memang pencerita yang handal, dan saya mengamini itu kala ia mampu membangun nuansa mencekat dan mencekam tetapi dalam konteks yang tenang, tak perlu secara gamblang menyiratkan semuanya ke dalam layar, cukup memacu ranah pengolahan rasa. Dan itu semakin lengkap kala terfasilitasi oleh Song Kang-ho dan Gong Yoo. Meskipun menggunakan era klasik atau vintage, ak menghalanginya untul lebih leluasa membangun atmosfer, aksi mata-mata antara Jepang dan Korea terhantarkan begitu mulus, mencekat dan mencekam. Salah satu sekuen terbaik dari film ini adalah sekuen kala melibatkan kereta, menciptakan sebuah aksi mencekam sekaligus dramatisasi yang menyentuh ranah rasa, jauh dari kesan murahan.

Ya, ini tak lebih dari aksi kejar-mengejar a la kucing dan tikus, tapi yang jelas pasti adalah kita tak tahu kejutan apa yang akan di siapkan oleh Jee-woon, tak terlampau luar biasa memang tapi seperti yang telah saya singgung tadi ia piawai mempermainkan timing, berpacu dengan waktu sekaligus mencari jarum dalam tumpukkan jerami. Kala nuansa hangat telah timbul antara Jung-Chool dan Woo-jin, Jee-woon memainkan perasaan mereka, menyulut sebuah kecurigaan yang kemudian seiring berjalannya waktu menghalangi mereka untuk mencari sebuah kebenaran dalam sebuah ikatan.

Tak hanya penggarapan, Jee-woon pun amat memperhatikkan segi teknis berupa sinematografi serta scoring yang tepat guna, sumbangsih memberikan nyawa terhadap cerita. Ketika mata di suguhkan oleh aksi pintar yang mencekat dan memikat, hati terkoyak sebuah rasa yang sulit di ungkapkan, begitulah The Age of Shadows, setidaknya itu yang saya rasakan dan tentu anda jika menontonnya, terdapat sebuah rasa heroisme, humanisme serta tekad untuk terbebas dari belenggu guna menciptakan sebuah kehidupan yang bebas untuk berekspresi dan berpendapat, serta merasakan sebuah kenyamanan.

SCORE : 4/5

Posting Komentar

0 Komentar