Selain
efektif membangun nuansa seru dan mencekam sekaligus menyulut simpati
bahkan empati, yang membuat historical drama berlatarkan masa penjajahan
atau masa perang dunia masih eksis di eksplorasi para filmmaker adalah
menciptakan sebuah gesekan yang menimbulkan kohesi yang kuat, ya
meskipun plot-nya tipis sekalipun ia mampu menghantarkan sebuah impresi
yang kuat bahkan mengikat serta memikat
secara bersamaan. The Age of Shadows garapan sutradara Kim Jee-won (A
Tale of Two Sisters, I Saw the Devil) adalah salah satu dari sekian
historical drama yang masuk kategori tersebut.
Bersetting
tahun 1920-an pada saat Korea Selatan masih berada di bawah kependudukan
Jepang, hadir salah satu klan yang mencoba bebas dari tirani
kependudukan tersebut, mereka adalah the Righteous Brotherhood. Lee
Jung-Chool (Song Kang-ho) merupakan salah satu mantan dari grup
tersebut, dan kini ia menjadi polisi bagi Jepang. Suatu ketika ia
diperintahkan untuk menghancurkan the Righteous Brotherhood, dan cara
yang ia gunakan adalah membangun koneksi dengan Kim Woo-Jin (Gong Yoo).
Tak banyak yang tahu bahwa Woo-Jin adalah bukanlah sosok biasa, ia
adalah pemimpin regional the Righteous Brotherhood. Dua pria tersebut
semakin akrab, namun siapa sangka rasa curiga satu sama lain kerap
muncul, terlebih setelah the Righteous Brotherhood menyadari bahwa ada
mata-mata di dalam kelompok mereka.
Tak ada yang spesial
memang jika menilik premis yang di angkat, kita tahu aksi yang akan di
suguhkan berupa spy games dengan taktik menipu dan tertipu. Ya, The Age
of Shadows tak jauh dari demikian, namun yang membuat ia terasa spesial
adalah Jee-woon mampu menempatkan timing yang pas. Paruh awal ia memang
langsung mengedor jantung penonton, menyajikan aksi kejar-kejaran yang
di temani desingan peluru menciptakan nuansa yang mencekam sekaligus
mencekat, setelah itu rasa nyaman masuk, penonton di ajak untuk dekat
dengan penonton guna menciptakan koneksi yang menghasilkan sebuah
simpati.
Kim Jee-woon memang pencerita yang handal, dan saya
mengamini itu kala ia mampu membangun nuansa mencekat dan mencekam
tetapi dalam konteks yang tenang, tak perlu secara gamblang menyiratkan
semuanya ke dalam layar, cukup memacu ranah pengolahan rasa. Dan itu
semakin lengkap kala terfasilitasi oleh Song Kang-ho dan Gong Yoo.
Meskipun menggunakan era klasik atau vintage, ak menghalanginya untul
lebih leluasa membangun atmosfer, aksi mata-mata antara Jepang dan Korea
terhantarkan begitu mulus, mencekat dan mencekam. Salah satu sekuen
terbaik dari film ini adalah sekuen kala melibatkan kereta, menciptakan
sebuah aksi mencekam sekaligus dramatisasi yang menyentuh ranah rasa,
jauh dari kesan murahan.
Ya, ini tak lebih dari aksi
kejar-mengejar a la kucing dan tikus, tapi yang jelas pasti adalah kita
tak tahu kejutan apa yang akan di siapkan oleh Jee-woon, tak terlampau
luar biasa memang tapi seperti yang telah saya singgung tadi ia piawai
mempermainkan timing, berpacu dengan waktu sekaligus mencari jarum dalam
tumpukkan jerami. Kala nuansa hangat telah timbul antara Jung-Chool dan
Woo-jin, Jee-woon memainkan perasaan mereka, menyulut sebuah kecurigaan
yang kemudian seiring berjalannya waktu menghalangi mereka untuk
mencari sebuah kebenaran dalam sebuah ikatan.
Tak hanya
penggarapan, Jee-woon pun amat memperhatikkan segi teknis berupa
sinematografi serta scoring yang tepat guna, sumbangsih memberikan nyawa
terhadap cerita. Ketika mata di suguhkan oleh aksi pintar yang mencekat
dan memikat, hati terkoyak sebuah rasa yang sulit di ungkapkan,
begitulah The Age of Shadows, setidaknya itu yang saya rasakan dan tentu
anda jika menontonnya, terdapat sebuah rasa heroisme, humanisme serta
tekad untuk terbebas dari belenggu guna menciptakan sebuah kehidupan
yang bebas untuk berekspresi dan berpendapat, serta merasakan sebuah
kenyamanan.
SCORE : 4/5
0 Komentar