Temurun ditukangi oleh para anak-anak muda berbakat yang masing-masing debut dalam film horror. Mulai dari keterlibatan Umay Shahab dan Prilly Latuconsina selaku produser, hingga film panjang pertama bagi Inarah Syarafina (sebelumnya sempat menggarap film pendek berjudul Langkah Renjana) dan Vontian Suwandi yang menulis naskah untuk pertama kali. Sekilas memang sebuah terobosan yang menjanjikan, pun demikian dengan segala materi promosinya yang menjauh dari template konvensional (paling mencolok adalah pemakaian warna ungu yang mendominasi).
Sena (Bryan Domani) dan Dewi (Yasamin Jasem) adalah sepasang adik-kakak yang harus bekerja keras demi menghidupi finansial keluarga, utamanya ibu mereka, Dyah (Karina Suwandi) yang menderita gangguan mental. Sebuah tragedi menewaskan sang ibu, mengharuskan keduanya untuk memulai hidup kembali seiring datangnya Agung (Kiki Narendra), sang ayah yang tak kunjung pulang kini menjemputnya untuk pindah ke sebuah rumah megah.
Kedatangan Sena dan Dewi disambut hangat oleh sang nenek, Gayatri (Jajang C. Noer) demikian pula dengan sang asisten, Hesti (Mian Tiara). Keduanya kemudian perlahan diperkenalkan dengan bisnis penjagalan milik keluarga, sebelum akhirnya menjadi pewaris bisnis turun-temurun. Baik Sena maupun Dewi masing-masing merasakan ada kejanggalan yang terjadi di rumah pula keluarga tersebut.
Satu hal yang patut diapresiasi dari naskah buatan Vontian Suwandi ialah keengganan untuk menyuapi penonton dengan beragam eksposisi. Vontian dengan cerdik menebar beragam petunjuk lewat pemandangan mengerikan semisal mayat yang tergantung di sepanjang jalan atau kecurigaan karakternya akan salah satu tokoh lewat beragam tanda-tanda yang memungkinkan dijadikan alasan. Hal ini kentara terjadi di paruh awal hingga pertengahan durasi.
Sederhananya, Temurun meluangkan waktu bercerita lewat drama keluarga disfungsional yang dapat dipahami, pun hal ini ditunjang oleh para pelakon yang sudah tak perlu diragukan lagi kapasitasnya. Yasamin Jasem semakin membuktikan bahwa dirinya adalah aktris muda dengan segudang bakat dan talenta, Bryan Domani unjuk diri dengan menampilkan kerapuhan seorang anak yang berjuang habis-habisan pun demikian dengan para pelakon senior seperti Kiki Narendra, Jajang C. Noer hingga Mian Tiara yang berada dalam fungsinya.
Sulit memang untuk mengenyahkan bahwa para pembuat Temurun amat menyanjung dan mencintai karya Ari Aster sebagai kiblat mereka, entah itu pemakaian judul yang menyerupai hingga beragam scary imageries yang kental akan gaya sang maestro. Hal ini bukanlah sebuah masalah pun tak haram hukumnya selama sang pembuat menampilkan sebuah semangat yang sama, namun yang terjadi terkadang sulit untuk mendekati ekspetasi.
Inarah mungkin belum memiliki sensitivitas hingga kepekaan layaknya Aster, namun yang jadi masalah adalah ketika visi yang ia terapkan justru terhalang oleh ketakutan yang menjauhkannya dari pola film horor arus utama, hingga ditambahkanlah jumpscare yang terhalang oleh timing kurang sempurna, meski dalam kasus filmnya terbantu oleh Karina Suwandi, yang seperti biasa piawai mentransfer sebuah kengerian berbekal lambaian tangan.
Apa yang dibangun oleh Temurun sejak awal tadi nyatanya tak memberikan dampak emosi pula bak terburu-buru dalam menutup kisahnya dan menciptakan sebuah anti-klimaks yang alih-alih memberikan kepuasan akan sebuah jawaban justru menjadi bumerang kala filmnya sebatas berjalan di permukaan. Pun, sebuah shoot akhir yang menyiratkan sebuah simbol pun nyatanya tak memberikan sebuah dampak signifikan bagi film yang secara terang-terangan menebar alegori sedari dini.
SCORE : 2.5/5
0 Komentar