Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - BUTCHERS (2020)

 

Butchers mempunyai segala yang dimiliki genre backwood. Dua sosok misterius yang tinggal ditengah hutan adalah antagonis utama yang keberadannya mudah untuk diprediksi, sementara sekelompok remaja campy yang tengah mencari bantuan karena mobilnya mogok ditengah jalan adalah calon potongan daging yang siap jadi korban. Kita paham betul metode klasik yang sudah sangat usang ini. Dan Butchers tak melakukan sebuah pembaharuan sebagai bahan jualan.


Pembukanya menyoroti dua orang pria yang kelak diketahui bernama Owen Watson (Simon Phillips) beserta sang adik, Oswald Watson (Michael Swatton) tengah menguburkan ibunya yang baru saja meninggal sembari membacakan penggalan Al-Kitab sebagai bahan penguatan dari kesedihan. Tak lama kemudian, terdengar suara mobil yang menderit mogok. Dikendarai oleh sepasang kekasih yang seperti kita ketahui akan bernasib naas tatkala mencari bala bantuan.


Maju pada tahun 1998, sekelompok remaja yang hendak pulang pasca acara ulang tahun mengalami hal yang sama. Mobil mereka mogok akibat busi yang tak diganti. Salah satu dari mereka, Mike (James Gerald Hicks) mencari solusi dengan maju ke depan dan berharap menemui sebuah bengkel. Pencarian Mike disusul oleh Jeena (Julie Mainvile) yang seiring obrolan keduanya menyiratkan sebuah hubungan terlarang perihal perselingkuhan yang dilakukan secara diam-diam.


Ya, Mike tengah berpacaran dengan Taylor (Anne-Carolyne Binette), begitupun dengan Jeena yang menjalin hubungan dengan Steven (Blake Canning) yang masing-masing ikut dalam perjalanan. Dari sini, dapat ditebak, bahwa pada akhirnya mereka akan bertemu dengan Watson bersaudara yang awalnya menawarkan bantuan mobil derek yang hanya sebuah modus operandi belaka guna menangkap mangsa.


Disutradarai dan ditulis oleh Adrian Langley (bersama Daniel Weissenberger), Butchers sejatinya berpotensi menjadi tontonan ringan yang seharusnya tak memerlukan pemikiran berlebih selain murni sebagai wahana bersenang-senang. Paruh awalnya tampak menjanjikan dengan pemanfaatan kemisteriusan pula tempat mengerikan dan menjijikan ditambah dengan orang menyeramkan. Tentu, ini berkat perangai meyakinkan dari Simon Phillips yang lewat janggut lebat pula sorotan matanya saja mengundang sebuah ketidakberesan.


Sayang, Butchers selanjutnya diisi oleh rangkaian teror usang yang minim sebuah kreativitas dalam menekan sub-genre. Benar, di dalamnya ada sadisme yang siap ditampilkan, namun semuanya harus berakhir dini karena pada dasarnya, Butchers tak mampu menggebrak batas. Apa yang ditampilkan hanyalah sekedar pasang perangkap, aksi tusuk dan tebas dalam lingkaran kucing-tikus yang membutuhkan banyak eksplorasi ketimbang pemaparan dalam ambiguitas tanpa isi.


Naskahnya sendiri dibagi menjadi tiga babak (The Beginning of the End, The Middle of Nowhere, The End is Here) yang sebenarnya hanyalah fase umum dalam rangkaian film konvensional. Selain kurangnya elaborasi lebih (khususnya terkait teror), Butchers pun tampil seakan kurang akan momentum yang membuat rangkaian terornya tampil datar, nihil sebuah ketegangan karena kita sebelumnya pernah menyaksikan yang lebih daripada ini, sebutlah Tucker & Dale vs. Evil (2010) yang memberikan terobosan sekaligus penyegaran pada horror/thriller slasher dalam ruang lingkup backwood.


Butchers memang tampak kerdil jika disandingkan dengan judul diatas, meski terkait kepadatan, Langley sejatinya sudah mampu merangkum sebuah cerita tanpa harus tampil rumit dengan bermodalkan segala trope klasik yang sejatinya bisa tampil asik, bukan terlupakan begitu saja.


SCORE : 2/5

Posting Komentar

0 Komentar