Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

KOKI-KOKI CILIK (2018)

Nama Ifa Isfansyah (Sang Penari, Pendekar Tongkat Emas, Pesantren Impian) mengawali debut penyutradaraan perdananya lewat Garuda di Dadaku (2009) hingga mengarahkan Ambilkan Bulan (2012), tak ayal dalam menangani Koki-Koki Cilik yang mana merupakan film anak atau lebih tepatnya film keluarga, beliau sudah paham betul bagaimana dalam mengemasnya. Tentu, dalam film yang mayoritas pemainnya adalah pelakon cilik unsur persahabatan, keluarga, hingga mewujudkan mimpi (unsur utama film ini) perlu dikedepankan. Alhasil, berbekal dari sebuah pengalaman, semuanya tersaji sedemikian rapi, pula memiliki taji yang tepat sasaran.

Protagonis utama film ini bernama Bima (Farras Fatik), seorang anak yang berasal dari kalangan menengah yang hendak mengikuti ajang Cooking Camp (awalnya film ini berjudul demikian), sebuah ajang kompetisi masak sembari berkemah. Dengan modal celengan yang ia tabung pula bantuan dari para tetangga, Bima yang diantar sang ibu (Fanny Fabriana) mengikuti lomba tersebut dengan tujuan menyandang gelar juara pertama agar bisa melanjutkan bisnis kuliner yang sempat dirintis mendiang sang ayah.

Tentu, demi meraih gelar juara, tak semudah membalikkan telapak tangan. Jangankan mengetahui seluk-beluk jenis masakan, menyebut kata "chef" pun Bima tak bisa, apalagi menggulingkan kedigdayaan gelar juara yang sudah tiga tahun dipegang oleh Audrey (Chloe Xaviera). Naskah garapan Vera Varidia (Surat Cinta Untuk Kartini, Me Vs Mami) masih mengusung tema formulaik berupa narasi from-zero-to-hero yang mana bukan sebuah masalah, selama eksekusinya berjalan mulus.

Pun, melihat trailer-nya pun kita dapat dengan mudah menebak sosok father figure yang akan menjadi mentor Bima dalam merengkuh gelar juara. Ialah Rama (Morgan Oey) sang petugas kebersihan cooking camp yang ternyata merupakan mantan chef terkenal. Interaksi Bima-Rama mulanya berjalan kurang mulus akibat sikap ketus Rama terhadap Bima. Namun, seiring Bima yang minta diajari masak, Rama perlahan mulai luluh. Pun dari sini, kita dapat melihat chemistry yang baik diantaranya keduanya.

Meski proses "belajar-mengajar" terkesan singkat (sebatas montase), saya tak akan lupa sebuah adegan yang mampu meluluhkan hati pula mengundang bibir untuk tersenyum, adegan "transfer energi" adalah sebuah puncak pencapaian dari Koki-Koki Cilik dalam penyataannya sebgai tontonan keluarga. Sebuah momen yang menyentuh berkat performa solid Morgan-Farras yang andai diganti oleh pemeran lain tak akan berjalan sedemikian apik.

Dalam penerapannya, Koki-Koki Cilik pun turut membawa sebuah nuansa persahabatan yang menggemaskan berkat jajaran para pelakon cilik dalam menghidupkan karakternya, mulai dari Kevin (Marcello) yang setia kawan pula hobi makan, Alva (Ali Fikry) yang sembrono, Nikki (Clarice Cutie) yang mengagumi Bima hingga kredit lebih perlu diberikan kepada Alifa Lubis sebagai Melly yang memiliki karakter menggemaskan (lebih ke julid) khas anak remaja, tengok adegan saat yoga, yang sukses menimbulkan tawa pula kegemasan tersendiri.

Sebagai sebuah tontonan keluarga, tentu moral value perlu dimasukkan sebagai bekal bagi anak pula penonton dewasa, Koki-Koki Cilik terhitung sukses memberikan sebuah kesan bagi kedua penontonnya. Bagi penonton anak, kesetiakawan pula kejujuran lewat karakter Bima jelas di dapat, sementara bagi penonton dewasa, kita belajar dari tokoh Rama yang awalnya meniatkan sebuah dendam terselubung kepada Bima dalam merebut gelar juara, Rama menganggap teman sebagai pesaing/lawan, sementara Bima menganggap mereka adalah teman. Dari contoh di atas, jelas jurangkultural yang berbeda, tanpa perlu saya jelaskan, penonton dewasa akan memetik sendiri pesannya.

Koki-Koki Cilik adalah sebuah food porn yang sukses mengundang rasa lapar, bermodalkan sebuah close-up bidikan kamera Yadi Sugandi (Sang Penari, Kuntilanak) semuanya tersaji sedemikian indah. Pun, penyuntingan Cesa David Luckmansyah (Sang Penari, Guru Ngaji) yang berjalan lincah menangkap momen sedemikian dinamis, dari sana kita dapat merasakan gurihnya kuah kare atau tekstur kenyal daging tanpa harus merasa atau menyentuhnya. Sebuah kombinasi yang benar-benar nyata.

Lain halnya jika Koki-Koki Cilik sebgai sebuah film kompetisi masak, sangat disayangkan (kebanyakan) momen masakannya disajikan terlampau cepat (bahkan off-screen) yang mana ini adalah sebuah momen paling krusial. Pun, sempat membingungkan kala Bima yang tidak pernah tahu apa itu sushi mampu mengkreasi-nya secara cepat, tanpa terlebih dahulu kita mengetahu prosesnya-yang akan benar-benar terasa sebuah perjuangannya. Untungnya, ini tak serta-merta menurunkan tensi ataupun melucuti sebuah atensi.

Mengenai sebuah konklusi, Koki-Koki Cilik memang mudah tertebak akan bagaimana kisahnya. Namun, lebih dari itu Ifa Isfansyah memberikan sebuah pelajaran terpenting dalam membantu sesama, yang mana jauh lebih mulia dibandingkan menang dengan menyakiti hati lawan. Pun, yang patut diacungi jempol adalah motivasi Bima yang kuat dalam mewujudkan kecintaannya (masak) atas dasar dari orang tercinta (mendiang ayahnya). Kalimat Do what you love and love what you do memanglah klise, namun benar adanya.

SCORE : 3.5/5

Posting Komentar

0 Komentar