Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

THE GIRL IN THE SPIDER'S WEB (2018)

Meskipun sekuel dari The Girl with the Dragon Tattoo (2011) milik David Fincher yang mendulang kesuksesan itu tak jadi dibuat-dengan alasan terlalu berisiko menurut pihak Sony, setidaknya meski tak sama, garapan sutradara Fede Álvarez  (Don't Breathe, Evil Dead) yang merupakan buku keempat dari seri Millenium garapan David Lagercrantz sekaligus judul pertama di luar buku karangan Stieg Larsson yang meninggal pada 2004 lalu ini sejatinya masih menyediakan spectacle khas film action spionase yang menyenangkan, meski kesan pertama seusai menonton film pendahulunya sukar di dapat.
 
 
Pun, Lisbeth Salander kali ini tak diperankan oleh Rooney Mara melainkan Claire Foy yang tak seektrimis versi Mara. Lisbeth kali ini tak hanya sebatas peretas handal yang kerap terlibat kasus misteri, melainkan sosok wanita yang rela melayangkan pukulan hingga menodongkan pistol dalam balutan adu jotos demi membela hak perempuan (ini berkaca pada kejadian masa kecilnya). Performa meyakinkan dari Foy memberikan nyawa lebih dari versi Lisbeth kali ini.
 
 
Lisbeth sendiri diminta untuk mencuri Firefall, sebuah program yang memungkinkan penggunanya untuk mengakses kode nuklir di seluruh dunia oleh National Security Agency (NSA) lewat penciptanya sendiri, Frans Balder (Stephen Merchant). Frans menganggap bahwa menciptakan Firefall adalah sebuah kesalahan dan berniat untuk menghancurkannya.
 
 
Sementara itu, anggota NSA, Edwin Needham (Lakeith Stanfield) berniat untuk merebut kembali Firefall, pun demikian sama halnya dengan Swedish Secret Service (SAPO) yang sudah lama ingin menangkap Lisbeth, tambahkan satu ancaman lagi dari sebuah sindikat yang bernama The Spiders. Melihat cerita yang digarap oleh sang sutradara bersama Jay Basu (Monster: Dark Continent) dan Steven Knight (Allied) memang terasa penuh sesak khas film action-thriller-spionase yang lebih mengandalkan aksi di tengah cerita yang cukup berbelit ini. Saya belum menyebut keterlibatan Mikael Blomkvist (Sverrir Gudnason) yang kembali membantu Lisbeth lewat kemampuan jurnalisme investigasinya (yang gagal dimanfaatkan film ini).
 
 
Untungnya, penyutradaraan Álvarez mampu terjabarkan-meski kadangkala terasa membingungkan. Itu yang dialami saya kala menonton film ini yang mampu menebus penuturan kisahnya dengan cakupan aksi yang memuaskan mata, sebutlah aksi kebut-kebutan atau pengeboman-yang dalam kausalitasnya membuat sebuah luka goresan di tubuh Lisbeth, penonton pun melihat kembali bagaimana ke-khas-an sebuah film bertema serupa terulang, yakni saaat sang protagonis merekatkan kembali lukanya menggunakan stapler.
 
 
Kalau bukan karena kadar aksi-yang meski kelewat jamak ditampilkan, The Girl in the Spider's Web akan tertatih-tatih sebatas tontonan lepas lalu dengan penceritaan yang cukup belibet pula jamak diemui itu.  Álvarez masih mempunyai daya yang cukup kuat guna membangun atensi dengan tempo cepat yang diterapkannya-yang meski kali ini penuturannya tak lagi dingin, Swedia rupanya masih terasa sunyi meski tak sekelam pendahulunya.


Kala konklusi diperlihatkan, saya sudah tak memikirkan lagi ekspetasi yang terlalu tinggi. Terpenting, menikmati sajian aksinya saja sudah cukup. Álvarez membawa sebuah luka lama pula kausalitas dalam intrik keluarga yang menyimpan setumpuk tanda tanya pula jawaban yang tak terbalaskan. Meski hanya sekilas, elemen tersebut justru memberikan hati tersendiri sebelum semuanya diakhiri, rasa itu ternyata tak datang lagi.


SCORE : 3/5

Posting Komentar

0 Komentar