Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

ONE CUT OF THE DEAD (2018)

Melalui One Cut of the Dead, sutradara debutan Shinichiro Ueda membuktikan sebuah kepekaan aspek sinematis yang sama sekali jarang atau bahkan belum di jamah. Seperti yang kita tahu pula, One Cut of the Dead adalah film dengan modal kecil (konon, sekitar $27 ribu atau setara dengan biaya produksi rata-rata film indie di Indonesia) yang kemudian booming berkat pemutaran perdananya di sebuah studio kecil dengan kapasitas kursi kurang lebih 30 kursi. Seketika melesat masuk ke jajaran deretan film terlaris di Jepang berkat word of mouth yang berjalan maksimal. Pun turut pula menghantarkannya pada beragam nominasi bergengsi.

Saya tak akan membahas detail mengenai cerita, yang jelas paruh pertama filmnya menampilkan sekumpulan orang yang tengah melakukan pengambilan gambar sebuah film bertemakan zombie dengan hanya satu kali take. Tentu filmnya sendiri berjalan tak lancar berkat ketiadaan ekspresi yang murni dari sang aktris utama Aika (Yuzuki Akiyama) yang membuat sang sutradara mengambil adegan selama 42 pengambilan yang membuat sang sutradara Takayuki (Takayuki Hamatsu) yang terlampau perfeksionis di buat marah besar. Hingga sebuah kejadian tak terduga pun muncul kala zombie sungguhan ternyata menyambangi mereka. Keputusan ini lantas digunakan Takayuki guna mengambil adegan asli serta ekspresi yang murni.

Apresiasi patut diberikan kepada Ueda yang membiarkan 37 menit pertamanya sebagai sebuah film zombie yang tak jelas bahkan kental dengan sebuah film yang tak digarap dengan matang. Ini mungkin membuat para penonton sedikit skeptis kala menontonnya. Adegan yang sama sekali ngawur hingga performa aktris yang jauh dari kesan mumpuni bahkan serangan zombie yang kurang dari kesan menyeramkan. Pun demikian dengan saya yang awalnya berpikir demikian. Namun, setelahnya kita disuguhkan sebuah shocking moment yang mungkin tak terlalu mengejutkan-namun efektif menampilkan sebuah kesan tersendiri.

Demi agar tak mengurangi kenikmatan anda kala menonton, review ini mungkin tak akan tersaji begitu eksplisit karena akan lebih berasa kualitasnya jika ditonton secara langsung. Ueda yang juga merangkap sebagai penulis naskah pula sekaligus editor filmnya memberikan sebuah "surat cinta" bagi filmmaking dari seorang filmmaker. Ini yang membuat saya sebagai penonton awam yang sama sekali kurang pengalaman dalam dunia tersebut sedikit tercerahkan akan sebuah kondisi di balik layar. Seperti kebanyakan rencana yang sudah di persiapkan, selalu saja ada sebuah sandungan dalam pelaksanaan. Dan Ueda menampilkan kondisi tersebut kala kreativitas seorang filmmaker dituntut untuk menutupi kekurangan dengan bergam cara demi tercipta sebuah mahakarya yang diinginkan.

One Cut of the Dead adalah sebuah film yang jujur dalam mengangkat kondisi "behind the scene" yang tak seperti kita duga akan berujung menyenangkan. Kondisi ini yang turut memperkuat konfliknya sekaligus pemantik tawa yang mampu menampilkan sebuah teriakan yang keras sekalipun. Pun filmnya turut menggarisbawahi terciptanya sebuah film jelek sekalipun yang ternyata penuh perjuangan pula tuntutan kala sebuah karya dibuat. Hal ini menampilkan sebuah pencerahan yang cukup signifikan sembari memberikan sebuah jawaban terkait sebuah karya yang patut untuk diapresiasi sekalipun film tersebut jauh dari definisi "kata" bagus.

Alhasil, selama 97 menit adalah sebuah pekerjaan menonton paling mengasyikan di samping memberikan sebuah pencerahan pula tawa yang tak henti tergelak. Ueda membungkus filmnya sedemikian rapi dan menyentuh kala ia turut memasukan sebuah gambaran terkait kekeluargaan, pekerjaan spontan pula sebuah keberhasilan di balik jerit payah yang mampu menyimpulan sebuah senyum, senyum bahagia.

SCORE : 4.5/5

Posting Komentar

0 Komentar