Melalui One Cut of the Dead, sutradara debutan Shinichiro Ueda
membuktikan sebuah kepekaan aspek sinematis yang sama sekali jarang atau
bahkan belum di jamah. Seperti yang kita tahu pula, One Cut of the Dead
adalah film dengan modal kecil (konon, sekitar $27 ribu atau setara
dengan biaya produksi rata-rata film indie di Indonesia) yang kemudian
booming berkat pemutaran perdananya di sebuah studio kecil dengan
kapasitas kursi kurang lebih 30 kursi. Seketika melesat masuk ke jajaran
deretan film terlaris di Jepang berkat word of mouth yang berjalan
maksimal. Pun turut pula menghantarkannya pada beragam nominasi
bergengsi.
Saya tak akan membahas detail mengenai cerita, yang
jelas paruh pertama filmnya menampilkan sekumpulan orang yang tengah
melakukan pengambilan gambar sebuah film bertemakan zombie dengan hanya
satu kali take. Tentu filmnya sendiri berjalan tak lancar berkat
ketiadaan ekspresi yang murni dari sang aktris utama Aika (Yuzuki
Akiyama) yang membuat sang sutradara mengambil adegan selama 42
pengambilan yang membuat sang sutradara Takayuki (Takayuki Hamatsu) yang
terlampau perfeksionis di buat marah besar. Hingga sebuah kejadian tak
terduga pun muncul kala zombie sungguhan ternyata menyambangi mereka.
Keputusan ini lantas digunakan Takayuki guna mengambil adegan asli serta
ekspresi yang murni.
Apresiasi patut diberikan kepada Ueda
yang membiarkan 37 menit pertamanya sebagai sebuah film zombie yang tak
jelas bahkan kental dengan sebuah film yang tak digarap dengan matang.
Ini mungkin membuat para penonton sedikit skeptis kala menontonnya.
Adegan yang sama sekali ngawur hingga performa aktris yang jauh dari
kesan mumpuni bahkan serangan zombie yang kurang dari kesan menyeramkan.
Pun demikian dengan saya yang awalnya berpikir demikian. Namun,
setelahnya kita disuguhkan sebuah shocking moment yang mungkin tak
terlalu mengejutkan-namun efektif menampilkan sebuah kesan tersendiri.
Demi agar tak mengurangi kenikmatan anda kala menonton, review ini
mungkin tak akan tersaji begitu eksplisit karena akan lebih berasa
kualitasnya jika ditonton secara langsung. Ueda yang juga merangkap
sebagai penulis naskah pula sekaligus editor filmnya memberikan sebuah
"surat cinta" bagi filmmaking dari seorang filmmaker. Ini yang membuat
saya sebagai penonton awam yang sama sekali kurang pengalaman dalam
dunia tersebut sedikit tercerahkan akan sebuah kondisi di balik layar.
Seperti kebanyakan rencana yang sudah di persiapkan, selalu saja ada
sebuah sandungan dalam pelaksanaan. Dan Ueda menampilkan kondisi
tersebut kala kreativitas seorang filmmaker dituntut untuk menutupi
kekurangan dengan bergam cara demi tercipta sebuah mahakarya yang
diinginkan.
One Cut of the Dead adalah sebuah film yang jujur
dalam mengangkat kondisi "behind the scene" yang tak seperti kita duga
akan berujung menyenangkan. Kondisi ini yang turut memperkuat konfliknya
sekaligus pemantik tawa yang mampu menampilkan sebuah teriakan yang
keras sekalipun. Pun filmnya turut menggarisbawahi terciptanya sebuah
film jelek sekalipun yang ternyata penuh perjuangan pula tuntutan kala
sebuah karya dibuat. Hal ini menampilkan sebuah pencerahan yang cukup
signifikan sembari memberikan sebuah jawaban terkait sebuah karya yang
patut untuk diapresiasi sekalipun film tersebut jauh dari definisi
"kata" bagus.
Alhasil, selama 97 menit adalah sebuah pekerjaan
menonton paling mengasyikan di samping memberikan sebuah pencerahan
pula tawa yang tak henti tergelak. Ueda membungkus filmnya sedemikian
rapi dan menyentuh kala ia turut memasukan sebuah gambaran terkait
kekeluargaan, pekerjaan spontan pula sebuah keberhasilan di balik jerit
payah yang mampu menyimpulan sebuah senyum, senyum bahagia.
SCORE : 4.5/5
0 Komentar