Seusai menonton The Perfect Husband yang menandai kali kedua
sutradara Rudi Aryanto bekerjasama dengan Screenplay Films pasca Surat
Cinta Untuk Starla The Movie saya termenung sembari menatap kosong
membayangkan apa yang telah saya tonton barusan. Bukan karena filmnya
terlampau bagus sehingga saya tak sanggup melontarkan kata melainkan
memikirkan masa kini hingga masa depan
jika seandainya hal yang dilakukan oleh tokoh dalam film ini semakin
marak terjadi yang mana menimbulkan resiko yang cukup signifikan.
Ya, The Perfect Husband berbicara mengenai perjodohan. Saya mungkin
orang awam yang menolak hal demikian jika disandingkan dengan berbagai
gerakan yang dilakukan pemerintah hingga suara yang divokalkan para
aktivitis diluaran sana mengenai pernikahan dini serta perjodohan. Kala
emansipasi sudah mulai merubah pandangan masyarakat kita, The Perfect
Husband seolah menolak dengan keras ajakan tersebut. Lalu dimanakah
letak sebuah kebebasan serta women empowerment itu?
Ya,
memang Arsen (Dimas Anggara) seorang pilot muda dengan kehidupan yang
mapan jelas merupakan dambaan setiap wanita. Seolah Perfect Husband
otomatis menempel pada dirinya. Namun apakah sebuah pria yang layak
disebut Perfect Husband harus sering menguntit seorang wanita yang
hendak ia jadikan sebagai seorang istri tanpa kenal terlebih dahulu dan
mengaku langsung pada calonnya yang masih duduk di bangku SMA? Jelas
jika saya diposisi Ayla (Amanda Rawles) akan bersikap ketus terhadap
Arsen bahkan menanyakan tingkat kewarasannya, sebelum menolak keras
perjodohan dengan lelaki yang menurut Ayla aneh.
Setidaknya
Ayla sudah mempunyai pacar bernama Ando (Maxime Bouttier) seorang
vokalis band-punk yang kerap manggung di sebuah acara "indienight"
menyanyikan lagu galau lengkap dengan tatto yang bak kelihatan dilukis
menggunakan spidol. Pesona Maxime jelas terseret habis jika disandingkan
dengan Dimas Anggara, terlebih jika melihat tatto spidol serta tingkah
yang ia cirikan sebagai vokalis rock justru terlihat bak seorang pria
quirky nan freak. Untungnya Amanda Rawles piawai melontarkan dialog
ceplas-ceplos dengan begitu lancar pula menandakan sang aktris muda ini
mempunyai masa depan yang cerah jika tak harus terlibat pada film
semacam ini.
Perseteruan Ayla dengan sang ayah (Slamet
Rahardjo) jelas begitu menarik, saling bersimpangan dan berusaha
menguatkan persepsi mereka. Slamet Rahardjo seperti biasa piawai
melantunkan kata pula sikap seorang ayah, kecuali pada saat ia salah
menyebut nama sang anak sebanyak dua kali dengan sebutan "Alya". Mungkin
sang sutradara segan untuk menegur sang aktor ataukah fokus sang
sutradara buyar bagaimana menggarap film ini? Entahlah saya pun tak tahu
pasti.
Menuju konklusi, saya dan kebanyakan penonton yang
terbiasa melihat film produks Screenplay tahu jika semuanya akan
diungkap, disini pula dramatisasi gagal tersaji di tangan Rudi Aryanto.
Saya tahu ini sebuah twist guna menyampaikan sebuah pesan yang diniati
sebagai bukti bakti kepada orang tua. Namun apakah sebuah film harus
semuanya mendidik disamping kebanyakan sebagai sebuah sarana hiburan
juga mesin pengeruk pundi finansial? Saya rasa tidak semuanya film harus
demikian, karena penonton yang pintar pasti tahu apa yang tersirat
didalam filmnya sendiri.
SCORE : 1.5/5
0 Komentar