Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

THE PERFECT HUSBAND (2018)

Seusai menonton The Perfect Husband yang menandai kali kedua sutradara Rudi Aryanto bekerjasama dengan Screenplay Films pasca Surat Cinta Untuk Starla The Movie saya termenung sembari menatap kosong membayangkan apa yang telah saya tonton barusan. Bukan karena filmnya terlampau bagus sehingga saya tak sanggup melontarkan kata melainkan memikirkan masa kini hingga masa depan jika seandainya hal yang dilakukan oleh tokoh dalam film ini semakin marak terjadi yang mana menimbulkan resiko yang cukup signifikan.

Ya, The Perfect Husband berbicara mengenai perjodohan. Saya mungkin orang awam yang menolak hal demikian jika disandingkan dengan berbagai gerakan yang dilakukan pemerintah hingga suara yang divokalkan para aktivitis diluaran sana mengenai pernikahan dini serta perjodohan. Kala emansipasi sudah mulai merubah pandangan masyarakat kita, The Perfect Husband seolah menolak dengan keras ajakan tersebut. Lalu dimanakah letak sebuah kebebasan serta women empowerment itu?

Ya, memang Arsen (Dimas Anggara) seorang pilot muda dengan kehidupan yang mapan jelas merupakan dambaan setiap wanita. Seolah Perfect Husband otomatis menempel pada dirinya. Namun apakah sebuah pria yang layak disebut Perfect Husband harus sering menguntit seorang wanita yang hendak ia jadikan sebagai seorang istri tanpa kenal terlebih dahulu dan mengaku langsung pada calonnya yang masih duduk di bangku SMA? Jelas jika saya diposisi Ayla (Amanda Rawles) akan bersikap ketus terhadap Arsen bahkan menanyakan tingkat kewarasannya, sebelum menolak keras perjodohan dengan lelaki yang menurut Ayla aneh.

Setidaknya Ayla sudah mempunyai pacar bernama Ando (Maxime Bouttier) seorang vokalis band-punk yang kerap manggung di sebuah acara "indienight" menyanyikan lagu galau lengkap dengan tatto yang bak kelihatan dilukis menggunakan spidol. Pesona Maxime jelas terseret habis jika disandingkan dengan Dimas Anggara, terlebih jika melihat tatto spidol serta tingkah yang ia cirikan sebagai vokalis rock justru terlihat bak seorang pria quirky nan freak. Untungnya Amanda Rawles piawai melontarkan dialog ceplas-ceplos dengan begitu lancar pula menandakan sang aktris muda ini mempunyai masa depan yang cerah jika tak harus terlibat pada film semacam ini.

Perseteruan Ayla dengan sang ayah (Slamet Rahardjo) jelas begitu menarik, saling bersimpangan dan berusaha menguatkan persepsi mereka. Slamet Rahardjo seperti biasa piawai melantunkan kata pula sikap seorang ayah, kecuali pada saat ia salah menyebut nama sang anak sebanyak dua kali dengan sebutan "Alya". Mungkin sang sutradara segan untuk menegur sang aktor ataukah fokus sang sutradara buyar bagaimana menggarap film ini? Entahlah saya pun tak tahu pasti.

Menuju konklusi, saya dan kebanyakan penonton yang terbiasa melihat film produks Screenplay tahu jika semuanya akan diungkap, disini pula dramatisasi gagal tersaji di tangan Rudi Aryanto. Saya tahu ini sebuah twist guna menyampaikan sebuah pesan yang diniati sebagai bukti bakti kepada orang tua. Namun apakah sebuah film harus semuanya mendidik disamping kebanyakan sebagai sebuah sarana hiburan juga mesin pengeruk pundi finansial? Saya rasa tidak semuanya film harus demikian, karena penonton yang pintar pasti tahu apa yang tersirat didalam filmnya sendiri.

SCORE : 1.5/5

Posting Komentar

0 Komentar