Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

THE BREADWINNER (2017)

Sebagian dari masyarakat kita memang selalu menjadikan landasan agama sebagai dalih untuk sebuah pembelaan serta perlindungan. Dalam ajaran Islam misalnya, kita sebagai pria diwajibkan untuk menjaga wanita. Namun lain halnya dengan pasukan Taliban yang tinggal disebuah desa bernama Kabul mengartikan konteks demikian seolah "kepunyaan mereka". Wanita dilarang keluar tanpa berdampingan dengan suami maupun kerabat, diwajibkan untuk menggunakan burqa, jika hal tersebut dilanggar maka mereka tak segan menyiksa bahkan memperkosa mereka tanpa mendengar dan mengerti hal sebenarnya.

Poros cerita utama kita dihadapkan pada seorang gadis berusia tiga belas tahun, Parvana (Saara Chaudry) yang melawan segresi juga demi bertahan hidup sembari mewujudkan mimpi untuk membenaskan sang ayah, Nurullah (Ali Badshah) yang ditawan kemudian dimasukan ke penjara oleh para pasukan Taliban. Sang ayah dipenjara oleh sebab hal yang sepele yakni dianggap tak becus kala menjaga dan bahkan membawa Parvana yng kala itu tengah mengusir anjing yang mendekat pada barang dagangan mereka. Inilah fase dimana sang sutradara, Nora Twomey mulai membentuk karakterisasi sang titular charachter.

Tentu ditawannya sang ayah membuat keluarga Parvana terancam, lebih tepatnya terenggut jiwa kebebasan mereka. Sehingga kala sang ibu, Fattema (Laara Sadiq) hendak pergi ke pasar bersama Parvana harus mengalami memar di sekujur tubuhnya karena telah melanggar hukum yang pasukan Taliban buat. Sementara itu Parvana tengah mengejar potongan foto sang ayah yang terbawa angin. Adegan tersebut tampak mengalir indah, sekaligus menghantui rasa manusiawi kita. The Breadwinner tampil unggul lewat adegan-adegan tersebut.

Lewat gambaran masyarakat yang tinggal di Afghanistan yang memang sedang rawan perang, banyak sekali memang anak kecil disana yang bernasib sama seperti Parvana, kekurangan tenaga lelaki yang kemudian memaksa Parvana untuk menjadi seorang Bacha Posh (anak perempuan yang menyamar menjadi laki-laki). Parvana memangkas rambut panjangnya, menggunakan baju bekas kakak laki-laki pertamanya yang sudah meninggal kemudian mengganti namanya menjadi Aatish yang mana ini sebagai sebuah simbol kesetaraan yang kerap dicari dan bahkan diteriakan.

Tentu tak mudah untuk menjadi seorang Parvana, dan disinilah naskah garapan Anita Doron yang menyadur ulang cerita novel dari Deborah Ellis mendeskripsikan semuanya tak begiru mudah, memberikan sebuah tantangan tersendiri bagi karakternya dan kemudain menyampaikan sebuah pesan tersurat yang dimilikinya. Dengan begitu pula atensi saya sebagai penonton dimainkan yang menyebabkan rasa simpati tak pernah luntur terhadap karakternya dan turut pula bahwa keinginan karakternya terealisasi.

Yang membuat film ini kian kokoh adalah bagaimana sang sutradara memberikan sebuah motivasi besar terhadap karakternya, bukan hanya sekedar melawan segresi melainakan mencoba untuk hidup tanpa sebuah kungkungan sembari mencari arti kebebasan. Kita melihat Parvana di usia mudanya banting tulang demi kelangsungan hidup sembari berharap dongeng yang ia bacakan terhadap sang adik kecilnya terselesaikan begitu pula dengan kehidupannya.

Dan disinilah Twomey mengaburkan dua dimensi antara kehidupan Parvana dengan dongeng yang membuat ia hidup yang semula ia anggap membosankan dari sang ayah, dan kemudian memunculkan sebuah benang merah tersendiri bagi filmnya. Memang transisi antara kisah Parvana serta imajinasi dongeng sedikit kurang mulus, namun saya rasa apa yang ingin disampaikan oleh Twomey tersaji sedemikian baik, begitu relevan pada masa kini yang seperti apa yang diharapkan filmnya semua harus terhapuskan. Saya pun mengamini hal itu.

SCORE : 4/5

Posting Komentar

0 Komentar