Sebagian dari masyarakat kita memang selalu menjadikan landasan
agama sebagai dalih untuk sebuah pembelaan serta perlindungan. Dalam
ajaran Islam misalnya, kita sebagai pria diwajibkan untuk menjaga
wanita. Namun lain halnya dengan pasukan Taliban yang tinggal disebuah
desa bernama Kabul mengartikan konteks demikian seolah "kepunyaan
mereka". Wanita dilarang keluar tanpa
berdampingan dengan suami maupun kerabat, diwajibkan untuk menggunakan
burqa, jika hal tersebut dilanggar maka mereka tak segan menyiksa bahkan
memperkosa mereka tanpa mendengar dan mengerti hal sebenarnya.
Poros cerita utama kita dihadapkan pada seorang gadis berusia tiga
belas tahun, Parvana (Saara Chaudry) yang melawan segresi juga demi
bertahan hidup sembari mewujudkan mimpi untuk membenaskan sang ayah,
Nurullah (Ali Badshah) yang ditawan kemudian dimasukan ke penjara oleh
para pasukan Taliban. Sang ayah dipenjara oleh sebab hal yang sepele
yakni dianggap tak becus kala menjaga dan bahkan membawa Parvana yng
kala itu tengah mengusir anjing yang mendekat pada barang dagangan
mereka. Inilah fase dimana sang sutradara, Nora Twomey mulai membentuk
karakterisasi sang titular charachter.
Tentu ditawannya sang
ayah membuat keluarga Parvana terancam, lebih tepatnya terenggut jiwa
kebebasan mereka. Sehingga kala sang ibu, Fattema (Laara Sadiq) hendak
pergi ke pasar bersama Parvana harus mengalami memar di sekujur tubuhnya
karena telah melanggar hukum yang pasukan Taliban buat. Sementara itu
Parvana tengah mengejar potongan foto sang ayah yang terbawa angin.
Adegan tersebut tampak mengalir indah, sekaligus menghantui rasa
manusiawi kita. The Breadwinner tampil unggul lewat adegan-adegan
tersebut.
Lewat gambaran masyarakat yang tinggal di
Afghanistan yang memang sedang rawan perang, banyak sekali memang anak
kecil disana yang bernasib sama seperti Parvana, kekurangan tenaga
lelaki yang kemudian memaksa Parvana untuk menjadi seorang Bacha Posh
(anak perempuan yang menyamar menjadi laki-laki). Parvana memangkas
rambut panjangnya, menggunakan baju bekas kakak laki-laki pertamanya
yang sudah meninggal kemudian mengganti namanya menjadi Aatish yang mana
ini sebagai sebuah simbol kesetaraan yang kerap dicari dan bahkan
diteriakan.
Tentu tak mudah untuk menjadi seorang Parvana,
dan disinilah naskah garapan Anita Doron yang menyadur ulang cerita
novel dari Deborah Ellis mendeskripsikan semuanya tak begiru mudah,
memberikan sebuah tantangan tersendiri bagi karakternya dan kemudain
menyampaikan sebuah pesan tersurat yang dimilikinya. Dengan begitu pula
atensi saya sebagai penonton dimainkan yang menyebabkan rasa simpati tak
pernah luntur terhadap karakternya dan turut pula bahwa keinginan
karakternya terealisasi.
Yang membuat film ini kian kokoh
adalah bagaimana sang sutradara memberikan sebuah motivasi besar
terhadap karakternya, bukan hanya sekedar melawan segresi melainakan
mencoba untuk hidup tanpa sebuah kungkungan sembari mencari arti
kebebasan. Kita melihat Parvana di usia mudanya banting tulang demi
kelangsungan hidup sembari berharap dongeng yang ia bacakan terhadap
sang adik kecilnya terselesaikan begitu pula dengan kehidupannya.
Dan disinilah Twomey mengaburkan dua dimensi antara kehidupan
Parvana dengan dongeng yang membuat ia hidup yang semula ia anggap
membosankan dari sang ayah, dan kemudian memunculkan sebuah benang merah
tersendiri bagi filmnya. Memang transisi antara kisah Parvana serta
imajinasi dongeng sedikit kurang mulus, namun saya rasa apa yang ingin
disampaikan oleh Twomey tersaji sedemikian baik, begitu relevan pada
masa kini yang seperti apa yang diharapkan filmnya semua harus
terhapuskan. Saya pun mengamini hal itu.
SCORE : 4/5
0 Komentar