Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - PETAK UMPET

 

Berdasarkan kisah viral dari kanal YouTube berjudul Diculik Wewe Gombel, Petak Umpet garapan Rizal Mantovani (Jurnalrisa by Risa Saraswati, Pusaka, Sumala) mempunyai niatan baik dalam mengangkat urband legend yang sangat dekat dengan masyarakat kita    yang entah sudah berapa kali diangkat ke medium layar lebar. Itu bukan sebuah persoalan selama sang sineas mampu menghadirkan sebuah perspektif lain dengan catatan ditunjang oleh narasi yang setidaknya terjalin rapi. Permasalahan utama dalam Petak Umpet adalah bahwa filmnya tak memiliki pondasi yang kuat guna menampilkan versi terbaiknya.

Sesuai judulnya, permainan tradisional menjadi awal sebuah petaka ketika Sari (Alesha Fadhillah) bersembunyi ke sebuah rumah besar yang sudah lama terbengkalai. Sebelum Sari melakukan tindakan tersebut, ia sempat mengalami penolakan dari sang Ibu (Putri Ayudya) untuk menemaninya bermain, sementara sang kakak, Rahman (Randy Martin) terpaksa sebatas menuruti kemauan sang ibu untuk menjaga Sari dan fokus bermain gim di ponsel miliknya.

Tak butuh waktu lama untuk Sari menghilang dan urung ditemukan selepas magrib. Tentu ini membuat keluarga merasa panik dan bersedih. Rahman yang merasa bersalah ditemani kedua sahabatnya, Shila (Saskia Chadwick) dan Rinto (Adam Farrel) memutuskan untuk mencari Sari di rumah terbengkalai yang konon dihuni oleh Wewe Gombel.

Dikerjakan naskahnya secara keroyokan oleh Nugro Agung, Ali Farighi dan Puji Lestari, Petak Umpet sebatas mengulang formula sama tanpa adanya keinginan untuk tampil berbeda. Sebenarnya, keputusan untuk tampil berbeda tak bersifat wajib, namun apa yang dimuat dalam narasi terlalu usang untuk diceritakan pula tak memiliki urgensi berarti.

Pengadeganan Rizal Mantovani pun tak seberapa bertenaga, ia sebatas membiarkan para karakternya diganggu dan saling mencari satu sama lain. Ketika momen tersebut unjuk gigi, scoring dengan kadar volume tinggi senantiasa mengiringi, seakan opsi yang digunakan efektif. Alih-alih rasa takut, rasa bosan dan lelah terlebih dahulu menjemput.

Ini tentu diakibatkan oleh lemahnya naskah yang tak mampu menopang keseluruhan cerita, hanya meninggalkan tumpukan lubang menganga serta cacat logika. Misalnya terkait karakter Rinto, ia digambarkan seolah mempunyai pengetahuan lebih mengenai asal-usul Wewe Gombel hingga mengatakan bahwa apabila Sari tidak kembali dalam kurun waktu tiga hari, yang tersisa hanyalah mayatnya saja. Tak ada kejelasan lebih mengenai karakternya, pun penonton tak pernah melihat karakternya untuk sekedar mempunyai keingintahuan yang lebih semisal membaca buku ataupun pernak-pernik dunia mistis.

Beruntung, Petak Umpet setidaknya memiliki wujud makhluk yang cukup berbeda dan menyeramkan, mengingatkan saya akan bentuk The Pale Lady dalam Scary Stories to Tell in the Dark. Sayang, screen-time yang dimiliki sangatlah sedikit, Rizal Mantovani terlalu mengandalkan karakter Bu We (Monique Henry) dalam riasan bak Maleficent setengah jadi.

Seolah sadar akan naskahnya yang tak begitu bekerja dan bertenaga, Petak Umpet pun ditutup secara buru-buru dengan konklusi yang lagi-lagi nihil sebuah pembaharuan pula tak menghasilkan sebuah dampak berarti terhadap karakternya. Percayalah Wewe (2015) yang juga digarap oleh Rizal Mantovani jauh lebih baik daripada ini (meskipun keduanya bukan sajian yang mumpuni).

SCORE : 1/5

Posting Komentar

0 Komentar