Entah sampai kapan eksploitasi beserta eksplorasi terhadap utas viral terus difilmkan, yang jelas hal tersebut masih (dan akan terus) menjadi budaya sebuah film horror dewasa ini. Perewangan yang merupakan adaptasi dari utas buatan JeroPoint (juga turut menulis naskah bersama Andri Cahyadi dan Baskoro Adi Wuryanto) menambah jajaran akan langgengnya tren masa kini yang akan terus lestari.
Semuanya berawal pada tahun 2008, Sudarsih (Ully Triani) membuka usaha rumah makan yang membuatnya banyak mendapatkan keuntungan. Tentu hal tersebut tak lepas dari bantuan makhluk bernama Perewangan yang sudah turun-temurun dipelihara oleh Yangkung (Andi/rif). Hingga malapetaka datang menyerang Sudarsih selepas Perewangan meminta tumbal sang suami, Taryadi (Dian Sidik) yang tak sempat ia kabulkan.
Akibatnya, kini Sudarsih terbujur kaku dengan sakit aneh yang ia derita. Hal ini tentu membuat kedua anaknya, Maya (Davina Karamoy) beserta adiknya, Wulan (Beby Evelyn) memutuskan untuk merawat sang ibu, mengikuti anjuran sang paman, Roni (Septian Dwi Cahyo).
Perewangan dibuka secara meyakinkan, seketika langsung menampilkan prosesi ritual yang melibatkan gagak beserta lesung yang ditumbuk oleh Sudarsih yang kemudian menampilkan sebuah transisi ciamik lewat kamera hasil bidikan Arfian (Do You See What I See, Kisah Tanah Jawa: Pocong Gundul, Qorin).
Berbicara perihal narasi, Perewangan mungkin terkesan template karena masih mengusung tema pesugihan yang entah sudah berapa kali diangkat ke layar lebar. Meskipun demikian, keputusan seperti ini bisa diakali selama sang sineas mampu membuat sebuah ketertarikan tersendiri. Sayangnya, Perewangan gagal melakukan hal ini.
Pengadeganan Awi Suryadi memang selalu menciptakan inovasi di setiap filmnya, salah satunya dengan mengedepankan aspek teknis yang sering kali ia kulik. Perewangan memiliki sejumlah gaya tersebut yang alih-alih tampil efektif malah terkesan sebagai ajang unjuk gaya tanpa meninggalkan sebuah kesan yang bermakna tanpa adanya korelasi akan cerita.
Ini tentu menjadikan filmnya lebih mengedepankan kuantitas ketimbang kualitas yang seharusnya lebih dibutuhkan oleh film ini. Benar, niat Awi Suryadi untuk menekan jumlah jumpscare layak untuk diapresiasi dengan mengedepankan nuansa atmosferik yang tampil cukup baik, namun sayangnya hal tersebut tak berlangsung secara kontinu akibat minimnya kedalaman narasi yang tampil hanya sebatas mengisi, bukan memberikan sebuah presisi.
Hal tersebut kentara di paruh kedua filmnya yang sebatas tersusun atas kompilasi adegan berikut: Maya mengecek kesehatan sang ibu-terkejut akan kondisi yang dialami-ulangi. Repetitif. Semakin mengganggu ketika filmnya kerap salah kaprah dalam menampilkan sebuah adegan dengan latar waktu malam. Awi beranggapan bahwa minimnya penerangan dapat menciptakan sebuah teror yang mencekam. Sungguh, sebuah bentuk penyiksaan terhadap indera penglihatan.
Padahal, Perewangan memiliki setumpuk potensi, salah satunya terkait asl-usul sang entitas yang urung digali. Pula memiliki performa seorang Ully Triani yang berbekal tatapannya saja sudah mampu menciptakan nuansa tak karuan. Tengok ketika sang aktris tersenyum sembari menmbelakangi layar, menciptakan aura intimidatif yang sangat efektif.
Begitu pula dengan wujud makhluknya yang lebih mendekati monster ketimbang demit konvensional. Keputusan untuk menerapkan efek praktikal setidaknya layak untuk diapresiasi karena memberikan wujud yang kentara terlihat nyata.
Konklusinya tampil sesuai porsi, meski ini berarti harus terlukai oleh keputusan yang menciderai klimaksnya yang terasa begitu canggung. Padahal, apa yang sudah dicapai tak semestinya untuk dilebih-lebihkan. Mungkin, Awi Suryadi ingin memberikan anggapan bahwa terornya dapat membuka sebuah peluang bagi teror yang tak berkesudahan, sementara saya yang duduk di kursi penonton hanya bisa pasrah dengan keadaan.
SCORE : 2.5/5
0 Komentar