Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - WAKTU MAGHRIB 2

 

Waktu Maghrib (2018) menjadi debut film panjang seorang Sidharta Tata yang meskipun filmnya jauh dari kata sempurna akibat terlalu mengandalkan jumpscare (tentu keputusan ini bisa diterima mengingat sang sineas masih menyesuaikan dengan konsumsi pasar) namun masih memiliki potensi tersendiri. Kini, sang sineas telah belajar lewat pengalamannya menghasilkan film dan serial yang beberapa diantaranya membuktikan bahwa Sidharta Tata adalah salah satu sutradara tanah air yang cukup menjanjikan. Tujuh tahun berselang, Waktu Maghrib 2 adalah jawaban dari anggapan tersebut.

Mengambil latar waktu 20 tahun pasca kejadian di film pertamanya, Yugo (Sultan Hamonangan) adalah salah satu pemain cadangan di klub sepakbola junior Giri Tirto. Bersama Endro (Muzzaki Ramdhan), mereka hendak meramaikan turnamen tingkat yang kemudian berujung pada sebuah kekacauan. Seolah menjadi pertanda buruk, tim cadangan yang pulang pada waktu maghrib mengabaikan salat dan kemudian bersumpah serapah selama perjalanan. Pasca sebuah kecelakan, beberapa di antara mereka pun menghilang, menyisakan Yugo dan Wulan (Anantya Kirana), sang sepupu yang terpaksa ikut dengan alasan mengantarakan botol minum    yang selamat.

Meskipun selamat, Wulan kemudian menampilkan perilaku serta gelagat aneh yang sering kali membuat Yugo ketakutan. Dari sinilah, naskah buatan Sidharta Tata bersama Khalid Kashogi dan Bayu Kurni Prasetya memanfaatkan talenta bocah 14 tahun bernama Anantya Kirana secara tepat guna. Kepaiawaian sang aktris cilik dalam bermain emosi serta tatapan kosong nan tajam senantiasa menguarkan kecemasan dan kengerian yang tak tertahankan.

Satu hal yang mampu dibenahi secara signifikan ialah keputusan Sidharta Tata yang kini tak serta merta mengandalkan maupun mengumbar penampakan sebagaimana di film pertama. Dalam menciptakan teror, Tata mengedepankan aksi kejar-kejaran saling bacok yang lebih menantang serta menciptakan ketegangan dalam taraf maksimal. Momen tersebut turut disokong oleh kamera hasil bidikan Mandella Majid yang bergerak secara liar namun tetap memperhatikan aturan, menghasilkan sebuah hasil akhir sarat presisi dalam menciptakan rasa cemas penonton.

Pun, modus operandi jin Ummu Sibyan yang daripada menyerang secara fisik memilih untuk menguasai dan mengontrol para korbannya secara psikis, memberikan sebuah kesegaran pula dampak yang lebih besar setelahnya. Namun, hal tersebut tak berlaku dengan rules filmnya yang terlampau mengkhianati aturan main yang ditetapkan sebelumnya.

Hal sederhana semisal kemampuan Ummu Sibyan yang hanya mampu menyerang menjelang waktu maghrib sebagaimana dipercaya para warga urung diterapkan secara kontinu ketika sang entitas ditampilkan dapat menerobos pintu rumah kapan saja dan di mana saja. Jelas, ini menghasilkan "cacat logika" terkait mitologinya yang urung digali secara lebih mendalam.

Itulah mengapa trauma yang dialami oleh Adi (Omar Daniel), penyintas di film pertama tak menghasilkan sebuah dampak yang signifikan. Karakternya hanya sebatas digambarkan di permukaan, nihil sebuah kedalaman. Beruntung, Tata masih mempunyai amunisi lain dalam menambal hal tersebut, yakni memberikan nuansa komedi kepada trio Sadana Agung, Nopek Novian serta Bagas Pratama Saputra sebagai pencair suasana, meski kadar komedi yang disampaikan pun tampil hit and miss.

Memasuki babak ketiga, ancaman yang dihadirkan tampil sedikit mengendur. Tata memilih jalur yang lebih aman dalam menciptakan sebuah kesurupan massal. Bukan sepenuhnya buruk, melainkan kadar yang dihasilkan tak sekuat apa yang ditampilkan sebelumnya. Pun, konklusinya cenderung antiklimaks dan terlampau menggampangkan    setelah serangkaian kejadian seolah terlalu lemah untuk diberikan sebuah penebusan yang setimpal. Meskipun demikian, Waktu Maghrib 2 adalah horror yang menjauh dari segala keklisean arus utama, sementara penonton (dan sutradara) tampil bersenang-senang setelahnya.

SCORE : 3/5 

Posting Komentar

0 Komentar