Sinema kita kerap terjebak pada pola repetitif berupa stagnansi (you know what i mean) variasi genre. Bukan para sineas kita enggan berbenah diri melainkan kurangnya kepercayaan diri para penonton yang menciptakan hal seperti itu kerap terjadi dan bahkan mendominasi. Jumbo hadir sebagai angin segar dengan memanfaatkan medium animasi yang mendobrak pakem bahwasannya film animasi adalah film untuk anak-anak. Disutradarai oleh Ryan Adriandhy (melakoni debut sebagai film panjang pertama buatannya), Jumbo adalah film untuk lintas generasi, tepatnya anak dan anak-anak yang hadir dalam diri kita.
Judulnya sendiri merujuk pada julukan yang sering diterima oleh Don (Prince Poetiray) karena bentuk badannya. Tinggal bersama sang nenek (Ratna Riantiarno), Don kerap menghabiskan waktunya dengan mendongeng, membawakan cerita Kesatria dan Pulau Gelembung yang merupakan warisan kedua orang tuanya (disuarakan oleh Ariel Noah dan Bunga Citra Lestari) yang pergi tanpa pernah kembali.
Ditulis naskahnya oleh Ryan bersama sang kolega, Widya Arifianti (yang juga menulis naskah untuk animasi Kancil buatan Visinema selanjutnya), Jumbo bernarasi secara hati-hati, tak pernah ada kata "meninggal" yang diucapkan oleh para karakternya tanpa menghilangkan esensinya sendiri. Pembuatnya tidak menganggap bodoh para penontonnya dan sangat sekali ramah serta mudah dipahami oleh semua kalangan.
Narasi yang tampil kelam tersebut mampu ditangani secara cerdik sehingga menghadirkan suatu kesimpulan yang sangat positif. Don beranggapan bahwa kedua orangtuanya mengirimkan dua sahabat baik, Nurman (Yusuf Ozkan) dan Mae (Graciella Abigail) sebagai keluarga yang selalu ada dalam suka dan duka, termasuk melindunginya dari ejekan Atta (M. Adhiyat).
Konflik hadir tatkala buku Pulau Gelembung milik Don diambil oleh Atta ditengah persiapan pentas seni yang diadakan di Kampung Seruni. Kebingungan dan kelimpungan atas apa yang terjadi, mereka kemudian berkenalan dengan Meri (Quinn Salman), gadis cilik yang kehadirannya sangatlah misterius.
Mengenai identitas Meri, Ryan pun menerapkan aturan serupa, menganggap para penontonnya akan mudah menyerap siapa jati diri Meri sebenarnya. Sejalan dengan hal tersebut, Ryan pun turut mengolah elemen mistis menjadi sebuah hal yang magis. Penonton dewasa akan cepat paham bahwa Meri adalah hantu gentayangan, namun alih-alih memberikan keseraman, Ryan menyulap hal tersebut dengan sebuah keajaiban.
Itulah mengapa Jumbo terasa spesial. Selain fakta bahwa departmennya digarap dengan niat yang baik (turut melibatkan kurang lebih 400 animator handal dan memakan waktu selama 5 tahun) menghasilkan hasil yang baik pula. Narasi yang dibangun membawa sebuah pesan yang kuat akan penceritaan. Pesan terkait kehilangan, penolakan, bahkan penerimaan tampil mulus seiring pengadeganannya yang dinamis.
Beberapa momen pun tampil ikonik. Favorit saya adalah ketika Don membawakan lagu Selalu Ada di Nadimu (versi originalnya dibawakan oleh Bunga Citra Lestari) sebagai hadiah tersembunyi untuknya. Serupa lagunya, momen tersebut tampil hangat, sehangat dekapan orang tua yang memberikan belaian lembut kepada anaknya.
Tentu ini tak lepas dari jajaran pengisi suaranya yang tampil begitu mumpuni, sesuai dengan kebutuhan karakternya. Utamanya Prince Poetiray sebagai Don yang dalam usia belum genap 10 tahun ketika perekaman suara dilakukan mampu memberikan transfer emosi secara kuat. Prince tahu kapan ia harus tampil menggebu atau berbicara secara lirih.
Bukan tanpa kekurangan, Jumbo mungkin sedikit terkendala ketika memaparkan sub-plot mengenai karakter antagonisnya dalam wujud seorang pemimpin yang zalim dalam melakukan dendam secara personal. Walupun demikian ini hanyalah kekurangan minor yang tak sampai melukai keseluruhan cerita.
Motif kejahatan yang dilakukan karena ia merasa tak di dengar, pun demikian dengan karakter lainnya yang merasa tak memiliki sosok orang yang ingin mendengarkan. Don memang seorang pencerita, namun apakah Don dan karakter lainnya dalam film ini sudah menjadi seorang pendengar?
Ryan tak lantas menjadikan karakter dalam film ini tampil sempurna. Sebagaimana manusia pada umumnya, mereka pun memiliki sifat egois terlebih jika telah menyangkut masalah pribadi. Itulah yang membuat Jumbo terasa manusiawi, beragam persoalan kehidupan sejatinya terwakili. Pun, permasalahan tersebut tak lantas dihakimi, melainkan turut direnungi.
Cerita tak akan menjadi cerita jika tidak ada pendengar. Demikian salah satu dialog yang diucapkan dalam filmnya. Kalimat tersebut seolah sebuah representasi bagi keseluruhan yang ada dalam Jumbo, sederhana namun bermakna. Sebuah representasi seorang Ryan Adriandhy dalam mengenang semua cerita dan memori baik sang ibu. Sungguh sebuah kisah personal yang akan selalu berlaku universal.
SCORE : 4.5/5
0 Komentar