Menilik judulnya, Almarhum jelas mempunyai kedekatan representasi dewasa ini. Kematian adalah sebuah hal yang mutlak. Pun seberapa jauh kita berlari dari maut adalah sebuah kemustahilan sekaligus upaya yang sia-sia. Setidaknya, naskah garapan Evelyn Afnilia (Pamali: Dusun Pocong, Munkar, Rumah Dinas Bapak) menafsirkan hal itu secara tegas dan lugas sedari menit paruh pembukanya ditampilkan.
Gelar almarhum tersebut langsung disandang oleh Mulwanto (Rukman Rosadi) yang selepas mengunjungi kebun miliknya mengeluhkan perihal kondisi badannya yang seketika menurun. Tak butuh waktu lama untuk ajal menjemput. Ketika hendak mandi menggunakan air panas, terjadi korsleting pada listrik yang membuatnya tersetrum dan menghembuskan nafas terakhirnya.
Kematian Mulwanto jelas membuat keluarga dirundung duka yang luar biasa, baik itu bagi ketiga anaknya: Wisesa (Dimas Aditya), Nuri (Ratu Sofya), Yanda (Alzi Markers); sang keponakan, Ajeng (Meisya Namira), hingga Rahmi (Nova Eliza), sang istri yang masih belum bisa menerima kepulangan sang suami secara tiba-tiba.
Belum cukup sampai di sana, kematian Mulwanto pun mengguratkan sebuah petaka kala ia meninggal tepat pada hari Selasa Kliwon, yang dipercaya sebagai hari sial pada penanggalan masyarakat Jawa. Konon, guna menghindari kejadian yang tak diinginkan (sang almarhum akan menjemput keluarganya lima hari setelah kematiannya) mereka harus melakukan serangkaian ritual, termasuk menghancurkan segala barang yang pernah di pakai mendiang.
Di atas kertas, Almarhum jelas mempunyai potensi besar berbekal premis unik nan menarik hasil perkawinan adat dan kepercayaan yang bertentangan. Pun, salah satu anak Pak Mulwanto adalah seorang dokter yang jelas menentang hal mistis yang tak sejalan dengan hal medis. Kontradiksi seperti ini menambah bobot tersendiri bagi filmnya, yang oleh sutradara Adhe Dharmastriya (Nikah Yuk!, Iblis dalam Kandungan, Bangsal Isolasi) dikemas lewat pendekatan ala seri Final Destination yang kentara mengiringi paruh pertama filmnya.
Sungguh sebuah pendekatan yang jarang sekali dijamah sineas kita. Pengadeganan Adhe meski tak terbilang baru dan revolusioner nyatanya menyiratkan sebuah pertanda sepanjang durasi yang ia tampilkan secara memadai (tulisan di baliho maupun serpihan stiker mobil). Sayang, semuanya tak berlangsung secara kontinu karena pada dasarnya Almarhum seolah tampil malu-malu untuk menanggalkan segala pakem horor arus utama.
Ditampilkalah ragam penampakan yang sejatinya tak perlu. Hal ini jelas didasari pembuatnya untuk memwadahi "selera pasar" dan anggapan kolot bahwa "horor itu harus menampilkan penampakan dan/atau hantu". Penyebab kematian yang semula tampil logis (dengan memanfaatkan hal dekat di sekitar) pun digantikan dengan hal yang berbau mistis.
Terkesan mengkhianati proses memang, terlebih perihal kepercayaan setempat yang semula mereka yakini merupakan dalang dari serangkaian kematian yang berkelanjutan. Almarhum banting setir menjadi sajian horor generik yang mengandalkan penampakan beserta gebrakan yang senantiasa membuat penonton awam terkejut, terkekeh, bahkan tersenyum melihatnya.
Seolah belum cukup sampai di situ, Almarhum pun berakhir sebatas sajian yang harus menambahkan "plot twist" klise khas horor lokal dewasa ini, yang sedari kemunculannya sudah dapat tercium siapa dalang sebenarnya. Guna menambahkan sebuah dramatisasi (dari serangkaian kematian yang terkesan repetitif nan episodik) ditambahkan pula scoring berupa soundtrack yang entah berapa kali diterapakan, seolah memaksa penontonnya untuk menitikan air mata secara berlebihan.
Meskipun demikian, Almarhum jelas masih mempunyai amunisi cerdik, sebutlah keputusan memberikan efek berupa jejak langkah maupun bunyi sendok dalam upaya membangun kengerian yang sejatinya lebih dibutuhkan ketimbang serentetan penampakan nihil substansi. Andai hal seperti ini lebih dikedepankan, tak menutup kemungkinan untuk menjadikan Almarhum sebagai pembuka yang menjanjikan.
SCORE : 3/5
0 Komentar