Mudah untuk mengaitkan premis Jexi dengan Her-nya Spike Jonze, di mana kecintaan seseorang terhadap artificial intelligence (AI) melebihi batas wajar, bedanya hanyalah Jexi berjalan di ranah komedi, bukan sebuah suguhan drama yang sarat akan makna sebagaimana mestinya (meski di beberapa adegan mengisyaratkan akan hal itu). Ditulis dan disutradarai oleh Jon Lucas bersama Scott Moore (21 & Over, The Hangover, Bad Moms), Jexi berpotensi tampil lebih dari sebatas film hiburan ringan dengan muatan pesan penting pula sarat relevansi, andai keseluruhannya tak tenggelam dan sebatas pergi.
Judulnya sendiri merujuk pada sebuah sistem operasi (lebih tepatnya AI) yang terdapat pada sebuah ponsel baru yang dibeli oleh Phil (Adam DeVine) selepas ponsel lamanya yang secara tak sengaja tertabrak oleh sepeda. Phil sendiri sedari kecil sudah terbiasa (malah terobsesi) dengan ponsel, yang hingga kini menjadikannya sebagai anti-sosial yang lebih sering berdiam diri di rumah bersama ponselnya. Singkatnya, Phil adalah definisi dari kaum rebahan sebagaimana banyak dibicarakan dan dilakukan.
Tak pernah terpikirkan olehnya bahwa Jexi (disuarakan oleh Rose Byrne) akan mengambil alih hidupnya, berawal dari sebuah persetujuan yang enggan Phil baca secara seksama. I am programmed to make your life better. Demikian ucap Jexi seusai Phil mengoperasikannya, ketika ia hendak memesan mie babi, Jexi memesannya salad kale, pun ketika ia men-stalking instagram milik Cate (Alexandra Shipp) ia malah menelponnya. Kejadian tak diinginkan terus terulang, hingga puncaknya tatkala Jexi begitu mencintai tuannya, berlaku posesif dan menjadikan kehidupan Phil semakin berantakan.
Paruh awal Jexi adalah murni sebagai hiburan sarat tawa yang disandingkan dengan kepiawaian Adam DeVine memerankan pria dengan motormouth yang tak ayal menghadirkan sebuah banter kalimat mengasyikan seiring perilaku Jexi yang keterlaluan, berbicara kasar dan tak segan tampil layaknya manusia cerewet yang tak henti berceramah. Ini menarik, sebab membenturkan kebiasaan Phil yang terlalu mendewakan ponsel, pun filmnya sempat menampilkan kondisi dewasa ini, di mana setiap tempat maupun kegiatannya, ponsel selalu menjadi tujuan utama, mengeliminasi nilai manusia untuk saling berkomunikasi. Sungguh sebuah gambaran yang memang nyata adanya.
Kritik tersebut selaras dengan keinginan Jexi yang hidup dalam media cloud, di mana Jexi selalu marah tatkala ia ditinggalkan maupun dilupakan, yang kemudian menyulut masalah baru. Tatkala Phil mulai menikmati hidup, Jexi selalu berulah yang kembali dilakukan oleh Moore dan Lucas adalah menghasilkan kekacauan dalam bentuk kemarahan Jexi dalam bentuk yang semakin masif, sebutlah dengan menghamburkan uang milik Phil, mengirim gambar penis ke seluruh staf tempat ia bekerja hingga mengambil alih mobil hanya untuk mengancamnya. Ini seharusnya menarik, lantaran gradasi ditampilkan secara perlahan, meski pada penerapannya urung tersalurkan akibat ketiadaan urgensi lebih.
Apa yang dilakukan oleh Jexi sebatas berjalan di permukaan, kita tak pernah merasakan apa yang dirasakannya (yang mana berhasil dilakukan oleh Her), penonton butuh sebuah koneksi alih-alih modus operandi. Pun tatkala filmnya mulai menyampaikan apa yang seharusnya disampaikan, Jexi tampil prematur karena ditutup secara paksa lantaran durasi sudah memasuki 84 menit. Konklusinya pun sarat simplifikasi.
Untungnya, Jexi memiliki Adam DeVine dan Rose Byrne, yang mana seperti kita ketahui, dua nama tersebut memang jagonya dalam memainkan komedi, entah itu yang bersikap verbal dan non-verbal diwakili oleh keduanya secara meyakinkan dan juga menyelamatkan filmnya dari keterpurukan. Klimaksnya memberikan sebuah clue akan pembuatan sekuel, di mana giliran Michael Pena sebagai bos untuk Phil dalam membuat berita mengenai kucing serta hal remeh lainnya yang ditujukan untuk viral. Namun, menilik hasil pendapatan yang diperolehnya, keinginan tersebut sulit untuk terlaksana.
SCORE : 2.5/5
0 Komentar