Kutuk adalah film yang
memasang nama Shandy Aulia sebanyak tiga kali, yakni produser, penulis dan
pemain. Pasca bermain di delapan film horor, Shandy memantapkan diri untuk
menjadi seorang penulis naskah yang ia pelajari dari film sebelumnya-yang
kemudian menghasilkan sebuah sajian cerita yang memang benar-benar sangat
terkutuk.
Plotnya sendiri berkisah
mengenai Maya (Shandy Aulia) yang memutuskan untuk bekerja menjadi seorang
perawat para lansia di sebuah panti jompo milik Elena (Alice Norin). Di hari
pertama bekerja, Maya sudah diganggu penampakan hantu yang mengganggu, belum
lagi ia harus menghadapi sikap Gendhis (Vitta Mariana) yan judes terhadapnya.
Penokohan Gendhis tak lebih dari sekedar tokoh antagonis khas sinetron yang
menyebalkan, bukan berarti ia berhasil membuat penonton benci terhadapnya,
melainkan keputusan menjadikannya antagonis yang kerap melontarkan nada tidak
suka secara gamblang.
Bersama Fajar Umbara (Ikut
Aku Ke Neraka, Sabrina, Mata Batin) Shandy menulis naskah Kutuk dengan penuh
kemalasan, keputusan untuk mengurangi jumpscare bukan berarti membangun
penceritaan-melainkan menciptakan sebuah kekosongan-yang teramat melelahkan-akibat
adegan hanya berisikan obrolan yang membosankan. Shandy dan Fajar seolah ingin
memasang mode santai dan seketika menghadirkan sebuah kejutan-yang berakhir
pada sebuah kegagalan.
Keputusan untuk
menciptakan sebuah twist dilakukan, yang mana seketika menyelesaikan sebuah
penceritaan dengan sekejap mata. Bukan masalah jika ingin menampilkan sebuah
twist, namun, Kutuk bak lupa bahwa dalam menciptakan sebuah plot twist
dibutuhkan sebuah plot sebagai penghubung. Fajar dan Shandy memang keliru,
alih-alih menciptakan sebuah plot twist, ia malah memunculkan sebuah twist
plot.
Meskipun demikian,
penuytradaraan Rudi Aryanto (Surat Cinta Untuk Starla The Movie, The Way I Love
You) masih terasa, itu terbukti kala Rudi membungkus sebuah jumpscare berbasis
keheningan-yang seketika mengantarkannya pada sebuah ketepatan timing sempurna
guna menyalurkan sebuah ketakutan. Sayang, itu hanya tampil sebagai sempilan,
Rudi tak lantas bisa menyelamatkan Kutuk dari sebuah kebobrokan dan lubang
tanya menganga.
Ya, di samping terasa
kosong dalam penceritaan, Kutuk membuat saya bertanya-tanya terhadap setting
tempat-nya yang menyiratkan nuansa 90-an, namun, di dalamnya terdapat sebuah
kata kekinian seperti kata “nyinir” di dalamnya. Pun, keberadaan karakternya
patut untuk dipertanyakan keterlibatannya, misalnya karakter Reno (Bryan
Mckenzie) dan dokter Sean (Stuart Collin) yang keberadaanya hanya sebatas
melengkapi dengan sebuah motivasi ujug-ujug miliknya.
Menuju konklusi, Kutuk
menyentuh ranah horror-slasher dengan tambahan gore tanggung miliknya. Ini tak
lantas menciptakan sebuah kesenangan maupun menyulut perasaan-yang kemudian
menghasilkan sebuah kekhawatiran. Lagi-lagi intensi terkait twist-nya
mengganggu pikiran saya dengan setumpuk pertanyaan: Apa motivasi sang hantu
menyakiti Maya jikalau bukan ia tujuannya? Semuanya dijawab atas dasar karena
harus Maya yang menjadi media. Selebihnya, tentu anda dengan cepat dapat
menebak bahwa orang yang sebenarnya terlihat baik rupanya ........
0 Komentar