Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

FIFTY SHADES FREED (2018)

Selaku trilogi penutup bagi filmnya, Fifty Shades Freed yang disadur dari novel garapan E.L. James tak menawarkan sebuah hal yang baru selain hanya untuk melanjutkan kisah Anastasia Steele (Dakota Johnson) dan Christian Grey (Jamie Dornan) yang kini telah menyandang status sebagai sepasang suami istri. Melihat kualitas film sebelumnya saya yakin penonton film ini terbagi atas dua opsi, 1) penonton yang terlanjur khatam prekuelnya dan 2) penonton yang hanya ingin melihat adegan erotis dari filmnya. Dan saya berada pada opsi penonton yang pertama dan menganggap opsi kedua hanya sebatas nilai plus penyulut libido (upss...).

Ana dan Grey telah menikah dan mereka pun melakukan honeymoon di Paris, namun kali ini ancaman bukan datang dari mantan budak Mr. Grey melainkan dari dari Jack Hyde (Eric Johnson) mantan bos Ana yang turut menyimpan perasaan kepada Ana. Tentu modus operandi Jack hanya sebatas balas dendam atas manifestasi sakit hati. Tak lebih dari itu, hingga konklusi yang seharusnya tampil gahar hanya sebatas pengulangan dari sebuah metode khas sinetron yang murahan, mencoba manus ke ranah thriller namun terlalu jauh untuk kita sebut thriller.

James Foley kembali menukangi film ini, kali ini ia dibantu oleh naskah dari suami sang penulis asli novelnya, Niall Leonard. Berbicara mengenai filmnya sendiri memang penuh dengan konflik yang sederhana namun berpotensi menyulut sebuah argumen yang kokoh, ya konflik film ini terjadi kala keinginan Ana untuk mempunyai anak dan Christian enggan untuk memiliki buah hati terlalu dini, bukan hanya itu saja konflik seputar kebebasan hak Ana pun tampil yang urung dieksplorasi lebih oleh Foley dan mengedepankan adegan penyulut libido yang kali ini terasa natural meski tak berada di level tinggi, sebut saja adegan yang melibatkan eskrim itu.

Bicara mengenai naskahnya memang miskin atas sebuah konflik, dan seperti yang telah saya singgung diatas konflik pun urung untuk dieksplorasi secara lebih, meninggalkan sebuah kesan canggung dan terlalu mudah untuk menemui titik temu. Ya, saya mengerti toh film ini hanya untuk menarik simpati para penggemarnya yang ingin berperang melawan hasrat birahi, tak lebih dari itu. Keputusan yang terlalu menggampangkan ini terlalu miskin jika dibanding segala properti penunjang filmnya yang begitu mewah.

Sejujurnya saya tak ingin menyebut James Foley sebagai orang yang terlalu malas dalam merangkai durasi demi durasi, namun faktanya saya harus menyebutkan itu, Foley memang malas membuat sebuah jalinan cerita yang kokoh, ya memang ia menyentuh ranah konflik utama namun hanya sebatas sambil lalu, sehingga tak salah jika setelah filmnya usai saya sama sekali tak merasakan sebuah impact terhadap filmnya. Jikalau itu pun ada saya akan mengingat bidikan kamera dari John Schwartzman yang menampilkan view yang memanjakan mata.

SCORE : 2/5

Posting Komentar

0 Komentar