Selaku
trilogi penutup bagi filmnya, Fifty Shades Freed yang disadur dari
novel garapan E.L. James tak menawarkan sebuah hal yang baru selain
hanya untuk melanjutkan kisah Anastasia Steele (Dakota Johnson) dan
Christian Grey (Jamie Dornan) yang kini telah menyandang status sebagai
sepasang suami istri. Melihat kualitas film sebelumnya saya yakin
penonton film ini terbagi atas dua opsi,
1) penonton yang terlanjur khatam prekuelnya dan 2) penonton yang hanya
ingin melihat adegan erotis dari filmnya. Dan saya berada pada opsi
penonton yang pertama dan menganggap opsi kedua hanya sebatas nilai plus
penyulut libido (upss...).
Ana dan Grey telah menikah dan
mereka pun melakukan honeymoon di Paris, namun kali ini ancaman bukan
datang dari mantan budak Mr. Grey melainkan dari dari Jack Hyde (Eric
Johnson) mantan bos Ana yang turut menyimpan perasaan kepada Ana. Tentu
modus operandi Jack hanya sebatas balas dendam atas manifestasi sakit
hati. Tak lebih dari itu, hingga konklusi yang seharusnya tampil gahar
hanya sebatas pengulangan dari sebuah metode khas sinetron yang murahan,
mencoba manus ke ranah thriller namun terlalu jauh untuk kita sebut
thriller.
James Foley kembali menukangi film ini, kali ini
ia dibantu oleh naskah dari suami sang penulis asli novelnya, Niall
Leonard. Berbicara mengenai filmnya sendiri memang penuh dengan konflik
yang sederhana namun berpotensi menyulut sebuah argumen yang kokoh, ya
konflik film ini terjadi kala keinginan Ana untuk mempunyai anak dan
Christian enggan untuk memiliki buah hati terlalu dini, bukan hanya itu
saja konflik seputar kebebasan hak Ana pun tampil yang urung
dieksplorasi lebih oleh Foley dan mengedepankan adegan penyulut libido
yang kali ini terasa natural meski tak berada di level tinggi, sebut
saja adegan yang melibatkan eskrim itu.
Bicara mengenai
naskahnya memang miskin atas sebuah konflik, dan seperti yang telah saya
singgung diatas konflik pun urung untuk dieksplorasi secara lebih,
meninggalkan sebuah kesan canggung dan terlalu mudah untuk menemui titik
temu. Ya, saya mengerti toh film ini hanya untuk menarik simpati para
penggemarnya yang ingin berperang melawan hasrat birahi, tak lebih dari
itu. Keputusan yang terlalu menggampangkan ini terlalu miskin jika
dibanding segala properti penunjang filmnya yang begitu mewah.
Sejujurnya saya tak ingin menyebut James Foley sebagai orang yang
terlalu malas dalam merangkai durasi demi durasi, namun faktanya saya
harus menyebutkan itu, Foley memang malas membuat sebuah jalinan cerita
yang kokoh, ya memang ia menyentuh ranah konflik utama namun hanya
sebatas sambil lalu, sehingga tak salah jika setelah filmnya usai saya
sama sekali tak merasakan sebuah impact terhadap filmnya. Jikalau itu
pun ada saya akan mengingat bidikan kamera dari John Schwartzman yang
menampilkan view yang memanjakan mata.
SCORE : 2/5
0 Komentar