Menurut
beberapa sumber yang saya baca di sebuah situs, ada beragam cara untuk
menggolongkan sebuah film horor. Dan bisa dikatakan itu terbagi ke
dalam tiga bentuk. Pertama nasty horror. Sesuai dengan namanya, jenis ini
mengedepankan momen menjijikan, sering eksploitatif serta menempatkan
cerita, akting dan segala aspek di
urutan ke sekian. Kritikus biasanya sering membabat habis jenis horor
ini. Kedua adalah mainstream horror yang biasanya dirilis secara luas,
dibuat mengikuti pola demi memuaskan penonton sebanyak mungkin (ex : The
Conjuring, Annabelle, Insidious). Dan yang ketiga adalah artsy horror
yang gemar bermain alegori, banjir penghargaan dari berbagai macam
festival hingga kritikus, namun bagi penonton awam dinilai tak selalu
memuaskan lantaran tempo lambat yang acap kali terjadi hingga "pelit"
untuk mengumbar teror, dan kali ini saya akan membahas salah satu jenis
horor yang tergolong pada artsy horror, sebuah film asal negeri menara
eiffel, Prancis, sebuah karya Julia Ducournau yang turut serta merangkap
sebagai penulis naskah. Raw sebuah film coming-of-age yang membawa isu
terkait sebuah kanibalisme.
Berkisah mengenai seorang gadis
bernama Justine (Garance Marillier) yang berkuliah menempuh sebuah
pendidikan kedokteran hewan. Justine merupakan tipikal gadis yang
"lurus", cerdas, pendiam, masih virgin dan tentunya seorang vegetarian,
bahkan tatkala ia makan disebuah restoran terselip satu potong daging
kecil pun sang ibu langsung protes kepada sang penjual. Justine kuliah
bersama sang kakak, Alexia (Ella Rumpf). Berlawanan dengan Justine,
Alexia sendiri lebih 'liar' dan gemar berpesta. Seiring berjalannya
waktu, Justine mulai menyadari bahwa ada suatu keanehan pada dirinya
ketika mulai timbul hasrat untuk memakan daging mentah, yang bahkan bisa
menyeruak hadir tatkala ia melihat seekor sapi yang hidup di depan
kelas ataupun tatkala ia melihat orang lain seperti teman sekamarnya,
Adrien (Rabah Nait Oufella) yang mengaku seorang gay. Hasrat untukk
memakan daging mentah itu kemudian berubah ke tingkat ekstrim.
Seperti yang telah saya singgung diatas, Raw garapan Julia Ducournau
menekankan sebuah kisah coming-of-age, yang mana itu adalah sebuah
sasaran empuk yang sering dieksplorasi bahkan dieksploitasi oleh seorang
filmmaker terlepas dari usungan genrenya, begitupun disini, Ducournau
memanfaatkan aspek itu, dimana masa remaja adalah masa dimana timbulnya
sebuah perubahan yang mungkin bisa dirasa aneh, misalnya pengalaman
seksual pertama maupun fisik kepribadian yang dirasa berubah. Maka, tak
akan sulit untuk memberi sebuah twist pada perubahan itu. misalnya si
karakter menyadari bahwa ia adalh seorang kanibal, monster atau
semacamnya. Itu semua berhasil dimanfaatkan mulai dari menumpahkan
setumpuk alegori tentang bangkitnya sebuah naluri manusia, seksualitas,
kehidupan kampus, bahkan sebuah perlakuan terhadap hewan, baik itu untuk
dikonsumsi atau eksperimen akademik.
Tapi, nyatanya
keberadaan sebuah simbol diatas tidak ikut serta menjadikan filmnya
sebagai sebuah suguhan yang cerdas, dimana pengunaan premis
coming-of-age sendiri sudah menjadi sebuah metafora yang sering
dieksplorasi, termasuk dalam ranah horor, apa yang ditampilkan oleh
Ducornau sendiri bisa dibilang terlampau familiar, dengan begitu
penonton mudah dapat menebak kemana pengembangan karakter itu akan
berjalan, meski diselingi beberapa shock value sedikitpun semua sudah
menjadi terasa biasa. Pula demikian dengan pengadegann yang cenderung
berjalan lambat guna membangun sebuah atmosfir klaustrofobik pencekam
bagi penonton, sejatinya itu pun terasa klise dimana template yang ia
jadikan sendiri sebagai sebuah arthouse horror, dan disini Ducornau
hanya sebatas menerapkan dan mengulang template itu.
Eksplorasi dramatik yang diterapkan cenderung mengesampingkanporsi
horor, yang mana bukan masalah jika hal itu dijadikan sebuah hak paten.
Sayangnya, untuk sebuah ukuran yang mencoba mengangkat sebuah tumbuh
kembang seseorang yang misterius ini saya rasa kurang, karna seperti
tujuan awal ini dibuat bukan untuk sekedar gimmick belaka, presentasinya
terbilang dangkal. Perubahan yang terjadi pada karakter Justine sendiri
bukan sebuah perubahan yang tampak natural, melainkan hanya agar
filmnya dapat berjalan ke sebuah twisted moment demi twisted moment
selanjutnya, hal ini pun yang meyakinkan bahwa Ducournau sendiri
bukanlah pencerita yang solid. Ia memang gemar bermain alegori,
terhitung beberapa momen mungkin mampu membuat kamu bergidik jijik
melihatnya seperti adegan yang memperlihatkan Justine memakan jari
manusia, bahkan hal remeh seperti menggaruk-garuk kulit yang gatal pun
terasa menyakitkan dan ini merupakan sebuah keahlian Ducournau yang
piawai menebar teror, yang urung untuk dieksplorasi lebih lanjut.
Tanpa perlu sadisme yang berlebihan Ducournau sukses menjadikan
beberapa adegan terasa menyakitkan, meski untuk beberapa orang yang
terbiasa menikmati sajian film bergenre serupa mungkin terkesan sudah
biasa, itu pun ditemani dengan artistik cantik dari Ruben Impens yang
turut memfasilitasi hingga scoring yang meyakinkan meskipun ia sendiri
tak pernah berada di puncak lebih atas, momen yang kian mencekam itu
sayangnya tak mampu tampil sempurna berkat beberapa aspek yang
membuktikan bahwa arthouse horror sejatinya mengalami sebuah
kekliseannya sendiri, repetitif dan tentunya predictable.
SCORE : 3/5
0 Komentar