Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

RAW (2017)

Menurut beberapa sumber yang saya baca di sebuah situs, ada beragam cara untuk menggolongkan sebuah film horor. Dan bisa dikatakan itu terbagi ke dalam tiga bentuk. Pertama nasty horror. Sesuai dengan namanya, jenis ini mengedepankan momen menjijikan, sering eksploitatif serta menempatkan cerita, akting dan segala aspek di urutan ke sekian. Kritikus biasanya sering membabat habis jenis horor ini. Kedua adalah mainstream horror yang biasanya dirilis secara luas, dibuat mengikuti pola demi memuaskan penonton sebanyak mungkin (ex : The Conjuring, Annabelle, Insidious). Dan yang ketiga adalah artsy horror yang gemar bermain alegori, banjir penghargaan dari berbagai macam festival hingga kritikus, namun bagi penonton awam dinilai tak selalu memuaskan lantaran tempo lambat yang acap kali terjadi hingga "pelit" untuk mengumbar teror, dan kali ini saya akan membahas salah satu jenis horor yang tergolong pada artsy horror, sebuah film asal negeri menara eiffel, Prancis, sebuah karya Julia Ducournau yang turut serta merangkap sebagai penulis naskah. Raw sebuah film coming-of-age yang membawa isu terkait sebuah kanibalisme.

Berkisah mengenai seorang gadis bernama Justine (Garance Marillier) yang berkuliah menempuh sebuah pendidikan kedokteran hewan. Justine merupakan tipikal gadis yang "lurus", cerdas, pendiam, masih virgin dan tentunya seorang vegetarian, bahkan tatkala ia makan disebuah restoran terselip satu potong daging kecil pun sang ibu langsung protes kepada sang penjual. Justine kuliah bersama sang kakak, Alexia (Ella Rumpf). Berlawanan dengan Justine, Alexia sendiri lebih 'liar' dan gemar berpesta. Seiring berjalannya waktu, Justine mulai menyadari bahwa ada suatu keanehan pada dirinya ketika mulai timbul hasrat untuk memakan daging mentah, yang bahkan bisa menyeruak hadir tatkala ia melihat seekor sapi yang hidup di depan kelas ataupun tatkala ia melihat orang lain seperti teman sekamarnya, Adrien (Rabah Nait Oufella) yang mengaku seorang gay. Hasrat untukk memakan daging mentah itu kemudian berubah ke tingkat ekstrim.

Seperti yang telah saya singgung diatas, Raw garapan Julia Ducournau menekankan sebuah kisah coming-of-age, yang mana itu adalah sebuah sasaran empuk yang sering dieksplorasi bahkan dieksploitasi oleh seorang filmmaker terlepas dari usungan genrenya, begitupun disini, Ducournau memanfaatkan aspek itu, dimana masa remaja adalah masa dimana timbulnya sebuah perubahan yang mungkin bisa dirasa aneh, misalnya pengalaman seksual pertama maupun fisik kepribadian yang dirasa berubah. Maka, tak akan sulit untuk memberi sebuah twist pada perubahan itu. misalnya si karakter menyadari bahwa ia adalh seorang kanibal, monster atau semacamnya. Itu semua berhasil dimanfaatkan mulai dari menumpahkan setumpuk alegori tentang bangkitnya sebuah naluri manusia, seksualitas, kehidupan kampus, bahkan sebuah perlakuan terhadap hewan, baik itu untuk dikonsumsi atau eksperimen akademik.

Tapi, nyatanya keberadaan sebuah simbol diatas tidak ikut serta menjadikan filmnya sebagai sebuah suguhan yang cerdas, dimana pengunaan premis coming-of-age sendiri sudah menjadi sebuah metafora yang sering dieksplorasi, termasuk dalam ranah horor, apa yang ditampilkan oleh Ducornau sendiri bisa dibilang terlampau familiar, dengan begitu penonton mudah dapat menebak kemana pengembangan karakter itu akan berjalan, meski diselingi beberapa shock value sedikitpun semua sudah menjadi terasa biasa. Pula demikian dengan pengadegann yang cenderung berjalan lambat guna membangun sebuah atmosfir klaustrofobik pencekam bagi penonton, sejatinya itu pun terasa klise dimana template yang ia jadikan sendiri sebagai sebuah arthouse horror, dan disini Ducornau hanya sebatas menerapkan dan mengulang template itu.

Eksplorasi dramatik yang diterapkan cenderung mengesampingkanporsi horor, yang mana bukan masalah jika hal itu dijadikan sebuah hak paten. Sayangnya, untuk sebuah ukuran yang mencoba mengangkat sebuah tumbuh kembang seseorang yang misterius ini saya rasa kurang, karna seperti tujuan awal ini dibuat bukan untuk sekedar gimmick belaka, presentasinya terbilang dangkal. Perubahan yang terjadi pada karakter Justine sendiri bukan sebuah perubahan yang tampak natural, melainkan hanya agar filmnya dapat berjalan ke sebuah twisted moment demi twisted moment selanjutnya, hal ini pun yang meyakinkan bahwa Ducournau sendiri bukanlah pencerita yang solid. Ia memang gemar bermain alegori, terhitung beberapa momen mungkin mampu membuat kamu bergidik jijik melihatnya seperti adegan yang memperlihatkan Justine memakan jari manusia, bahkan hal remeh seperti menggaruk-garuk kulit yang gatal pun terasa menyakitkan dan ini merupakan sebuah keahlian Ducournau yang piawai menebar teror, yang urung untuk dieksplorasi lebih lanjut.

Tanpa perlu sadisme yang berlebihan Ducournau sukses menjadikan beberapa adegan terasa menyakitkan, meski untuk beberapa orang yang terbiasa menikmati sajian film bergenre serupa mungkin terkesan sudah biasa, itu pun ditemani dengan artistik cantik dari Ruben Impens yang turut memfasilitasi hingga scoring yang meyakinkan meskipun ia sendiri tak pernah berada di puncak lebih atas, momen yang kian mencekam itu sayangnya tak mampu tampil sempurna berkat beberapa aspek yang membuktikan bahwa arthouse horror sejatinya mengalami sebuah kekliseannya sendiri, repetitif dan tentunya predictable.

SCORE : 3/5

Posting Komentar

0 Komentar