Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

HIDDEN FIGURES (2016)

Drama seperti "Hidden Figures" mungkin memang sudah banyak kamu jumpai di berbagai film sebelumnya, sebuah film dengan tensi drama yang mencoba mengangkat berbagai isu klasik guna memperoleh hak kesamaan derajat. Namun jarang sekali dari berbagai drama serupa seperti ini yang mampu meninggalkan kesan "enough" saja dengan strategi mengemis atensi, empati maupun simpati. Hidden Figures mungkin lain dari itu, ia memang sedari awal punya misi serupa but at least look like so different di tangan sutradara St. Vincent ini, berhasil berbicara tentang equal rights dengan cara yang "right".

Katherine Johnson (Taraji P. Henson), Dorothy Vaughan (Octavia Spencer), dan Mary Jackson (Janelle Moane) merupakan tiga wanita yang telah menunjukan kepintaran mereka sejak kecil. Sayangnya ketika telah dewasa mereka tidak memiliki kesempatan untuk menunjukan kelebihan mereka tersebut dengan alasan warna kulit, meskipun mereka kini telah bekerja di NASA. Suatu ketika kesempatan itu tiba disaat proyek space tra
ve yang dibangun NASA membutuhkan scientist mathematicians. Katherine, Dorothy, dan Mary kemudian direkrut untuk membantu meskipun pada awalnya mereka mendapat rintangan dari Director of The Space Task Group, Al Harrison (Kevin Costner) dan tantangan kanannya yang bernama Paul Stafford (Jim Parsons).
Memang terasa unik bukan tatkala film yang mencoba menceritakan tentang orang berkulit hitam namun disutradarai oleh orang berkulit putih, Theodore Melfi. Keputusan untuk memilih Melfi dibangku sutradara merupakan sebuah keputusan yang tepat. Apa yang dibutuhkan oleh script yang mencoba mengangkat isu berat soal ras dan gender ini adalah dengan hadirnya seorang sutradara yang mampu membuat karakter jauh dari kesan "tenggelam" dan disini Melfi yang dibantu oleh sokongan script yang ia tulis bersama Allison Schroeder dengan basis sebuah buku berjudul sama gubahan Margot Lee Shetterly itu menjadi sebuah arena bagi tiga karakter utama wanita yang kian memancarkan pesona yang mereka punya.
Cerita itu kemudian mampu menunjukan kesan "berhasil" namun hasil terbaik dari semua itu adalah bagaimana cara Melfi membuat apa yang dirasakan oleh tiga karakter ini seolah tak meminta maupun mengemis pertolongan. Disini Melfi mencoba menunjukan bahwa karakter punya "power" tersendiri guna untuk diperlihatkan dan sering dianggap remeh tatkala semua itu terjadi pada laum minoritas oleh kaum mayoritas, pada tahun 1961 di USA hal itu terjadi pada black people dan tentunya seorang wanita. Melfi tidak mencoba untuk membuat tiga karakter ini mempunyai sebuah "hiasan" dengan pernak-pernik yang mewah, melainkan mencoba "melepas" mereka guna menghancurkan tembok perbedaan yang terjadi dan dialami oleh mereka disini, dan itu membuat penonton merasakan sebuah kesan "cool".

Tak hanya sampai disana saja, Melfi juga berhasil membuat script mampu untuk connect dengan penonton, kita tahu mungkin sekarang isu terkait racism maupun sexism masih menjadi sesuatu yang terjadi dan masih kerap untuk diperdebatkan. Dan disini lewat tiga karakter ini Melfi seolah berbicara untuk perlahan menghancurkan semuanya. Kesedihan dan kepedihan karakter memang terjadi disini, tapi itu semua bukan untuk membuat karakter seolah seperti menye-menye disini melainkan untuk membuat mereka menunjukan sebuah power atas keberanian mereka, dan semuanya itu kemudian diperbagus dan dilengkapi oleh performa akting dari penonton, penggarapan yang mumpuni dan tentunya kaya akan value yang mampu menggerbak maupun menghancurkan suatu sistem terkait racism maupun sexism.



SCORE : 4.5/5

Posting Komentar

0 Komentar