Drama seperti "Hidden Figures" mungkin memang sudah banyak kamu jumpai
di berbagai film sebelumnya, sebuah film dengan tensi drama yang mencoba
mengangkat berbagai isu klasik guna memperoleh hak kesamaan derajat.
Namun jarang sekali dari berbagai drama serupa seperti ini yang mampu
meninggalkan kesan "enough" saja dengan
strategi mengemis atensi, empati maupun simpati. Hidden Figures mungkin
lain dari itu, ia memang sedari awal punya misi serupa but at least look
like so different di tangan sutradara St. Vincent ini, berhasil
berbicara tentang equal rights dengan cara yang "right".
Katherine Johnson (Taraji P. Henson), Dorothy Vaughan (Octavia Spencer),
dan Mary Jackson (Janelle Moane) merupakan tiga wanita yang telah
menunjukan kepintaran mereka sejak kecil. Sayangnya ketika telah dewasa
mereka tidak memiliki kesempatan untuk menunjukan kelebihan mereka
tersebut dengan alasan warna kulit, meskipun mereka kini telah bekerja
di NASA. Suatu ketika kesempatan itu tiba disaat proyek space trave yang dibangun NASA membutuhkan scientist mathematicians. Katherine,
Dorothy, dan Mary kemudian direkrut untuk membantu meskipun pada awalnya
mereka mendapat rintangan dari Director of The Space Task Group, Al
Harrison (Kevin Costner) dan tantangan kanannya yang bernama Paul
Stafford (Jim Parsons).
Memang terasa unik bukan tatkala film
yang mencoba menceritakan tentang orang berkulit hitam namun
disutradarai oleh orang berkulit putih, Theodore Melfi. Keputusan untuk
memilih Melfi dibangku sutradara merupakan sebuah keputusan yang tepat.
Apa yang dibutuhkan oleh script yang mencoba mengangkat isu berat soal
ras dan gender ini adalah dengan hadirnya seorang sutradara yang mampu
membuat karakter jauh dari kesan "tenggelam" dan disini Melfi yang
dibantu oleh sokongan script yang ia tulis bersama Allison Schroeder
dengan basis sebuah buku berjudul sama gubahan Margot Lee Shetterly itu
menjadi sebuah arena bagi tiga karakter utama wanita yang kian
memancarkan pesona yang mereka punya.
Cerita itu kemudian mampu
menunjukan kesan "berhasil" namun hasil terbaik dari semua itu adalah
bagaimana cara Melfi membuat apa yang dirasakan oleh tiga karakter ini
seolah tak meminta maupun mengemis pertolongan. Disini Melfi mencoba
menunjukan bahwa karakter punya "power" tersendiri guna untuk
diperlihatkan dan sering dianggap remeh tatkala semua itu terjadi pada
laum minoritas oleh kaum mayoritas, pada tahun 1961 di USA hal itu
terjadi pada black people dan tentunya seorang wanita. Melfi tidak
mencoba untuk membuat tiga karakter ini mempunyai sebuah "hiasan" dengan
pernak-pernik yang mewah, melainkan mencoba "melepas" mereka guna
menghancurkan tembok perbedaan yang terjadi dan dialami oleh mereka
disini, dan itu membuat penonton merasakan sebuah kesan "cool".
Tak hanya sampai disana saja, Melfi juga berhasil membuat script mampu
untuk connect dengan penonton, kita tahu mungkin sekarang isu terkait
racism maupun sexism masih menjadi sesuatu yang terjadi dan masih kerap
untuk diperdebatkan. Dan disini lewat tiga karakter ini Melfi seolah
berbicara untuk perlahan menghancurkan semuanya. Kesedihan dan kepedihan
karakter memang terjadi disini, tapi itu semua bukan untuk membuat
karakter seolah seperti menye-menye disini melainkan untuk membuat
mereka menunjukan sebuah power atas keberanian mereka, dan semuanya itu
kemudian diperbagus dan dilengkapi oleh performa akting dari penonton,
penggarapan yang mumpuni dan tentunya kaya akan value yang mampu
menggerbak maupun menghancurkan suatu sistem terkait racism maupun
sexism.
SCORE : 4.5/5
0 Komentar