Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - MENDADAK DANGDUT

 

Butuh waktu 19 tahun guna merealisasikan semangat yang film pertamanya bawakan. Mendadak Dangdut (2006) adalah salah satu film bersejarah bagi sinema tanah air, kehadirannya kala itu bukan hanya sebatas memperkenalkan lagu dangdut (terbukti dengan booming-nya nomor trek Jablai yang dibawakan oleh Titi Kamal) melainkan turut membawa nuansa "merakyat" yang begitu lekat. Disutradarai oleh Monty Tiwa (penulis film orsinalnya yang kala disutradarai oleh Rudy Soedjarwo) yang turut merangkap sebagai penulis naskah bersama kedua rekannya Erik Tiwa dan Muttaqiena Imamaa, Mendadak Dangdut versi terbaru memang membawa semangat serupa, meski bukan lagi dalam bentuk yang sama.

Ketimbang remake, filmnya lebih pantas disebut rekuel karena semesta filmnya masih menautkan benang merah dengan sang ikon legendaris di film pertama sekaligus sosok flamboyan, Rizal Maduma (Dwi Sasono). Sebagaimana Petris (Titi Kamal) dan Yulia (Kinaryosih) alami di film pertamanya, Naya (Anya Geraldine) penyanyi pop akustik kenamaan harus melarikan diri pasca sebuah insiden menyudutkannya sebagai dalang atas tewasnya sang asisten, Zulfikar (Calvin Jeremy). Dalam keadaan penuh tekanan, ia kemudian melarikan diri bersama sang adik, Lola (Aisha Nurra Datau) ke sebuah desa bernama Singalaya, desa yang ditengarai sebagai tempat tinggal sang ayah, Anwar (Joshua Pandelaki).

Dalam perjalanannya, secercah harapan tampil ketika sang ayah ternyata menjadi saksi mata kasus pembunuhan tersebut, kerumitan pun terjadi ketika kenyataan mengatakan bahwa ia mengidap alzheimer. Di saat yang bersamaan, pertemuan Naya dengan Wawan (Keanu Angelo) dan Wendhoy (Fajar Nugra), yang tengah merintis orkes dangdut guna berpartisipasi dalam ajang Larung Pes, membawa sebuah kehidupan baru, salah satunya berkenalan dengan musik dangdut.

Sebagaimana mestinya perjalanan yang senantiasa membawa sebuah perubahan dan pembelajaran, Naya yang bersinggungan di dunia tarik suara dengan genre yang berbeda melupakan fakta tersebut. Reaksi awal ketika Wawan menawarkannya untuk bergabung dan kemudian berujung pada penolakan memang bisa diterima, namun pasca keputusan berdamai dengan keadaan yang diharapkan membawa asas di atas, persentasinya tak masuk logika.

Saya paham niatan Monty Tiwa yang menjadikan musik dangdut sebagai panggilan jiwa bagi Naya, pun gerakan instan dan konstan sebagai wujud reaksi tersebut menghasilkan sebuah momen komedik yang ikonik. Fakta tersebut memang tak bisa diganggu gugat, namun Monty bak melupakan sebuah "proses mengenali" sebagaimana film orsinalnya tampilkan.

Alhasil, urgensi pun sulit untuk dirasakan. Kekosongan sebuah proses yang harusnya menjadi aspek krusial pun urung terjadi secara natural. Demikian pula dengan unsur dramanya yang seolah jalan ditempat dan berlaku curang dengan mengandalkan eksploitasi terhadap penyakit sebagai bentuk kemalasan para penulisnya dalam memberikan sebuah dampak yang signifikan.

Di luar aspek tersebut, Mendadak Dangdut tampil prima, utamanya dalam membawakan celetukan komedi yang berjasa berkat kepiawan pemainnya dalam menghadirkan improvisasi secara nyata dan mengena. Nama seperti Opie Kumis, Fajar Nugra, Adi Sudirja hingga Keanu Angelo adalah nyawa utama filmnya, bahkan persona mereka mengalahkan sub-plot cerita Naya dan keluarganya. Nama yang disebut terakhir adalah yang paling gemilang, sulit menampik bahwa kenaturalan Keanu Angelo dalam berkelakar (bahkan di satu adegan, Monty Tiwa membiarkan Keanu untuk mengatrol filmnya dengan respon pemain yang tak kuasa menahan tawa) adalah alasan banyak orang untuk mengunjungi bioskop.

Mendadak Dangdut memang sengaja didesain secara kekinian dengan membawa segala pop-culture milik generasi Gen Z, modernisasi seperti ini memang perlu dan seharusnya dilakukan, namun bukan berarti mengalienasi poin positif yang film orsinalnya sudah lakukan. Sungguh sebuah cela yang tak seharusnya diterima.

Biarpun nomor trek seperti Mars Pembantu dan Jablai kembali dihadirkan dengan pembawaan yang lebih segar (meski rasanya sulit untuk menandingi versi orsinalnya yang tak lekang oleh zaman), Mendadak Dangdut adalah tipikal pop-corn-movie yang mengambil jalan serba instan dan enggan menaiki anak tangga bernama proses perjalanan. Konklusinya pun mengamini hal tersebut, menanggalkan kedalaman serta menghilangkan kehormatan bagi mendiang Joshua Pandelaki yang seharusnya memberikan sebuah kehangatan bagi drama keluarga disfungsional sembari menghantarkan rasa yang maksimal.

SCORE : 2.5/5

Posting Komentar

0 Komentar