Datang dari rumah produksi yang membuat Vina: Sebelum 7 Hari (2024), Norma: Antara Mertua dan Menantu menandai satu lagi tragedi yang didramatisasi dengan alasan memberikan edukasi (atau lebih tepatnya monetisasi) terhadap kejadian yang terjadi pada tiga tahun silam di daerah Serang, Banten. Tentu, sajian yang mengisi libur lebaran ini dianggap kurang tepat karena muatannya yang tak akurat. Namun, inilah dunia hiburan, segala hal perlu dilakukan demi menghasilkan keuntungan.
Terlepas setuju atau tidaknya dengan hal tersebut, saya akan mengesampingkan dengan alasan menilai filmnya secara utuh tanpa muatan yang menyulut sebuah perbincangan lebih jauh, yang jelas Norma: Antara Mertua dan Menantu diperuntukkan bagi mereka yang menyukai sajian dengan label overly dramatic sebagaimana sebuah sinetron dibuat. Tambahkan backsound Tak Sanggup Lagi yang dinyanyikan oleh Rossa, lengkap sudah tujuan film ini.
Norma Risma (Tissa Biani) adalah seorang guru TK kesayangan Umi Pia (Devi Permatasari) karena keuletan dan ketekunannya dalam mendidik anak-anak. Pertemuannya dengan Irfan (Yusuf Mahardika) terjadi kala ia memesan sebuah bingkisan. Irfan jatuh hati pada pandangan pertama, namun tidak demikian dengan Norma yang mengalihkan perhatiannya demi menjaga Ambu Rina (Wulan Guritno) yang selalu menolak siapa saja pria yang mendekati anaknya.
Ditulis naskahnya oleh Oka Aurora (Layangan Putus, Ipar Adalah Maut, Setetes Embun Cinta Niyala), Norma: Antara Mertua dan Menantu membuka paruh awalnya dengan sebuah adegan yang menunjukkan pengadilan (keseluruhan cerita adalah flashback) di mana tragedi sudah terjadi. Sebuah pilihan yang cukuo cerdik dengan alasan yang logis pula, karena bagaimanapun penonton sudah mafhum keseluruhan inti cerita ini. Praktis penonton hanya menunggu sense of impending doom.
Ketika momen itu tiba pada waktunya, pengarahan Guntur Soeharjanto (Backstage, Argantara, Bukannya Aku Tidak Mau Nikah) jelas memanfaatkan kesempatan untuk membuat penonton mengucap sumpah serapah secara berjamaah, puncaknya adalah adegan persekusi yang semula diketahui oleh Bude Fitri (Nunung, dalam performa yang mencuri perhatian, mewakili keresahan dan kecurigaan penonton).
Selain faktor tersebut, tak ada yang benar-benar baru karena filmnya sudah memfasilitasi keinginan penonton secara umum. Berhasil atau tidaknya kembali ke persepsi masing-masing. Saya cukup menikmati dan terbawa situasi bersamanya, meski setelahnya, jika ditilik dari segi filmis filmnya hanya sebatas berada di zona nyamannya.
Usaha pun sempat dilakukan dengan cara memberikan sebuah kejelasan bagaimana semuanya bisa terjadi. Setidaknya Oka Aurora meluangkan waktu untuk membangun cerita asal-muasal "perbuatan terlarang" secara logis-meski nihil kedalaman dan sebatas berjalan di permukaan.
Beberapa clue pun sempat disinggung, misalnya lewat adegan ceramah yang membahas sebuah hadis bahwasannya surga berada di bawah telapak kaki ibu, yang seperti kita tahu nantinya akan dijadikan salah satu tameng untuk membela perbuatan yang dilakukan oleh salah satu karakternya. Setidaknya, meski kurang mulus dalam penuturannya (karena sebatas dimuat dalam dialog), naskahnya patut diapresiasi dalam memberikan sebuah ironi tersendiri.
Beruntung, Norma: Antara Mertua dan Menantu mempunyai jajaran cast yang sudah tak diragukan lagi kapasitasnya. Tissa Biani seperti biasa piawai dalam mengolah emosi secara meledak-ledak, sementara Yusuf Mahardika dan Wulan Guritno tampil sebagai antagonis tak tahu diri dengan segala ketebalan muka dan sifat dan sikap playing victim-nya. Demikian pula dengan Rukman Rosadi sebagai ayah Norma yang menyembunyikan kecurigaan dalam diam. Momen ketika ayah dan Norma di sebuah balkon adalah wadah yang tepat bagi keduanya mencurahkan segala keluh-kesah dalam asam garam kehidupan.
Berlangsung selama 134 menit, Norma: Antara Mertua dan Menantu dirasa terlalu panjang dalam menghantarkan sebuah kisah pengkhianatan, beberapa adegan memang bisa dipadatkan alih-alih menampilkan drama kesedihan yang tampil tak berkesudahan dengan tujuan mengemis belas kasihan penontonnya. Hal itu kentara di paruh kedua filmnya menjelang konklusi, penonton seolah dipaksa untuk tetap memberikan rasa kasihan terhadap nasib yang menimpa karakter utamanya.
Lagi pula bukankah tujuan filmnya memang demikian? Usaha untuk mengais simpati urung tergali, digantikan dengan scoring yang sengaja tampil menggelegar sehingga dalam beberapa adegan dialog yang diucapkan urung terdengar secara jelas. Ini merupakan salah satu cacat yang seharusnya bisa lebih diperhatikan lagi.
Konklusinya kembali tampil main aman, mengandalkan voice over beserta penggalan Al-Quran dan hadis. Terlepas dari bentuk kesalahanya dalam mendramatisasi tragedi, Norma: Antara Mertua dan Menantu cukup berhasil dalam meraih atensi berkat kesengajaan untuk setia pada tujuan, meski setelah filmnya usai tak meninggalkan kesan yang mendalam dan mudah untuk dilupakan.
SCORE : 3/5
0 Komentar