Diluar kontroversi seputar keberpihakan filmnya pada dukungan aksi genosida Israel terhadap Palestina yang ditampilkan pada adegan pembuka yang menampilkan sebuah sekuen manipulasi penyerangan di Gurun Badiyat al-Sham, Suriah, Trigger Warning masih akan banyak dibacarakan oleh masyarakat dalam negeri (juga luar negeri) karenan menandai kali pertama sutradara wanita asal Indonesia, yakni Mouly Surya yang sudah malang-melintang menghasilkan karya mumpuni seperti Fiksi. (2008), What They Don't Talk About When They Talk About Love (2013) hingga Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak (2017) menggarap film panjang pertamanya yang berbahasa Inggris. Momen seperti ini jelas layak untuk diapresiasi.
Namun, di lain pihak, Trigger Warning pun menandai kali pertama Mouly Surya menggarap naskah yang bukan buatannya (naskahnya ditulis secara keroyokan oleh Josh Olson, John Brancato, dan Michael Ferris). Ini berarti visi sang sutradara harus terbagi atas nama menyesuaikan diri dengan produksi khas luar negeri (lebih tepatnya tontonan b-movie) atas dasar batu loncatan sekaligus pembuka gerbang untuk karya mendatang. Dari sini sejatinya kekhawatiran saya timbul.
Menggandeng Jessica Alba sebagai Parker (yang turut merangkap sebagai produser eksekutif di samping menandai comeback-nya setelah setengah dekade hiatus pasca Killer Anonymous), seorang anggota pasukan khusus yang mendapati kabar bahwa ayahnya meninggal akibat tertimpa reruntuhan longsor tambang dan kemudian memaksa dirinya kembali pulang ke kampung halaman.
Berniat merasakan dan merayakan duka sepeninggal sang ayah, Parker justru mengendus ketidakberesan di balik kematian yang terasa janggal. Dari sini, ia bertekad untuk mencari tahu motif sekaligus mengungkit keadilan dengan melakukan balas dendam terhadap siapa saja yang sudah melakukan kecurangan.
Dari sini, narasi Trigger Warning bergerak dengan menambahkan unsur investigasi berupa pencarian Parker yang sayangnya belum cukup kuat untuk mengatrol filmnya akibat ketiadaan urgensi tinggi. Begitu pun yang terjadi selanjutnya dengan Trigger Warning yang sarat akan potensi namun terhalang eksekusi.
Padahal, pembuatnya sempat menggiring penonton untuk turut berperan menaruh kecurigaan terhadap barisan karakternya, yang paling menonjol adalah senator Ezekiel Swann (Anthony Michael Hall) yang secara tersirat adalah seorang rasisme yang enggan dibilang rasis, ia bersembunyi dibalik persepsi sebagai seorang pria kulit putih. Kedua adalah Elvis (Jake Weary), adik dari Jesse (Mark Webber), sheriff setempat yang merupakan mantan kekasih Parker.
Sungguh sebuah pekerjaan yang terlalu mudah untuk menebak siapa sang dalang utama (meski film bukanlah sebatas usaha menebak maupun memprediksi) yang kekurangan daya di samping relasi mereka mendorong pada sebuah narasi yang lebih mumpuni. Misalnya terkait sikap Jesse yang denial antara keluarga ataupun orang terkasih hingga Parker yang merupakan seorang wanita berdarah Latin harus menghadapi tindakan menjengkelkan mereka para pelaku supremasi.
Ketidakberdayaan Mouly pun menciptakan stagnansi yang luar biasa menjemukan, termasuk ketika menggarap sekuen aksi yang kekurangan akan momentum sebelum sempat dibangun. Hal itu kentara nyaris dalam setiap adegan, termasuk konklusi yang seharusnya menjadi sebuah selebrasi alih-alih berakhir terlalu dini.
Ya, sulit sebenarnya untuk menyebut Trigger Warning sebagai sebuah sajian penuh kekurangan sekaligus membosankan. Namun, apa daya ini adalah sebuah kenyataan yang dijual atas nama hiburan. Selain sarat akan rasa kantuk, Trigger Warning pun penuh akan cacat logika beserta kebodohan yang sulit untuk dimengerti, apalagi semuanya tumpah ruah menjelang konklusi. Teman (baca: aparat khusus) macam apa yang menyalakan roket di dalam tambang sempit dan hendak rubuh? Petugas berdedikasi mana yang membiarkan wanita asing dengan luka sayatan kecil memasuki pangkalan tanpa menaruh kecurigaan? Setidaknya, kebodohan seperti itu senantiasa menjangkiti dan memenuhi keseluruhan durasi yang sudah tak tertolong lagi.
SCORE : 2/5
0 Komentar