Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - WOMEN TALKING (2022)

 

Ketika nominasi Best Pictures di Oscar diumumkan, tak sedikit yang menganggap bahwa Women Talking garapan sutradara Sarah Polley begitu underrated. Terinspirasi dari kejadian nyata warga Bolivia (tepatnya komunitas wanita Mennonite oleh para pria koloni Manitoba) berdasakan novel gubahan Miriam Toews, Women Talking sesuai judulnya adalah curahan hati seorang perempuan yang mempunyai pilihan di depan kungkungan pria kolonial.

Sebelas wanita berkumpul di loteng atas jerami setelah peristiwa yang menimpa pada Ona (Rooney Mara) yang terbangun dari tidur dan mendapati dirinya kehilangan keperawanan. Pemerkosaan oleh para pria dengan menggunakan obat penenang ternak kembali terulang, dan para wanita yang tak mengetahui apa-apa harus merenggut akibatnya yang tak sekedar luka memar, melainkan kehormatan dan kebebasan yang telah direnggut.

Lantas apakah hal tersebut harus dibiarkan begitu saja? Beberapa wanita mewakili masing-masing perspektif yang nantinya dituliskan oleh August (Ben Whishaw) satu dari dua pria yang berada di pihak mereka, sekaligus satu-satunya yang mengerti bagaimana membaca dan menulis. Dari sini ketertarikan utama yang dimiliki oleh Women Talking, ketika sebuah referendum hanya memiliki tiga keputusan: do nothing, stay or fight, and leave.

Turut merangkap sebagai penulis naskah, Polley menampilkan drama kuat berkat barisan para karakter yang tak kalah kuat, pula para pemain yang sudah kompeten dalam perannya masing-masing. Frances McDormand sebagai salah satu sesepuh bernama Scarface Janz lebih memilih diam dan melandaskan semuanya atas ajaran agama, Mariche yang dimainkan oleh Jessie Buckley lebih berapi-api sementara Claire Foy sebagai Salome tak kalah membara. Perdebatan yang dihasilkan pun mampu mencuri atensi dengan dialog tajam nan berisi.

Benar, Woman Talking diisi oleh ragam perdebatan lewat sudut pandang wanita yang lebih sekuler daripada kelihatannya (mereka tetap religius, dan beberapa diantaranya bahkan sudah menghafal Al-Kitab). Semuanya bak ditelanjangi secara simultan tanpa harus terkesan malu-malu, karena pada dasarnya ini adalah sebuah film yang didasarkan pada aturan demokrasi itu sendiri. Dari wanita, oleh wanita dan untuk wanita. Politik semacam ini penuh akan tantangan dan kekangan, terutama jika dirasakan oleh para wanita dibawah pimpinan ketiak pemangku patriarki.

Mimpi yang mereka punya terkadang seperti bualan yang jauh dari kenyataan. "Kita hanyalah wanita tanpa suara". Demikian ucap Mariche dibalik penyampaikan kata penuh tawa sekeras tangis. Dalam pertemuan itu pula sesekali hadir Melvin (August Winter), wanita yang setelah diperkosa memutuskan ingin terlihat seperti pria dan berhenti berbicara (terkecuali pada anak-anak). Inilah gambaran nyata sebuah trauma yang bisa merenggut segalanya.

Bukan tanpa cela, terkadang persentasi yang disampaikan terkesan mengawang-awang ketimbang menyelesaikan sebuah permasalahan. Meskipun demikian, ini adalah celah minor dari sekian penyampaian yang penuh akan harapan dan keinginan. Sesekali scoring gubahan Hildur Guðnadóttir (The Revenant, Sicario, Arrival) menusuk secara perlahan bahkan dapat pula menyampaikan sebuah kekuatan akan ketenangan, seperti saat para wanita memutuskan untuk menyanyikan lagu Children of the Father untuk mengobati salah satu anak mereka yang sakit.

Woman Talking adalah bentuk harmoni dan desonasi para wanita yang dirampas haknya oleh para pria dan diam-diam mencurahkan segala keluh-kesahnya kepada sesama wanita. Mereka tak ingin balas dendam, melainkan menuntuk tiga haknya: 1). Keamanan anak-anak, 2). Iman yang kuat, dan 3). Pola pikir yang terbuka. Mengapa tidak mendengarkan?

SCORE : 4/5

Posting Komentar

0 Komentar