Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - RENT-A-PAL (2020)

 

Kisah tentang pria kesepian memang sudah biasa, dan dalam Rent-A-Pal sutradara debutan Jon Stevenson yang turut merangkap sebagai penulis naskah memberikan sebuah penambahan dengan memadupadankannya dengan unsur techno-thriller dengan kaset VCR sebagai media penyulut ketegangan. Terkesan sederhana memang, namun nuansa oldskul ini memberikan sebuah efektivitas mumpuni dalam memainkan sebuah karakterisasi berupa sisi gelap manusia itu sendiri.

 

Bersetting pada tahun 1990, protagonis utama kita bernama David (Brian Landis Folkins) yang menghabiskan seluruh waktunya merawat sang ibu, Lucille (Kathleen Brady) yang mengidap dimensia pasca sang suami memutuskan melakukan aksi bunuh diri. Mudah untuk medefinisikan David sebagai "pria baik" yang tak protes meski sang ibu memanggilnya dengan nama Frank (nama sang ayah), senantiasa merawat dan melayani sang ibu setiap waktu, mulai dari menyiapkan makanan, memandikan hingga membawanya pergi jalan-jalan. Rutinitas tersebut terus berulang, tak ayal David pun dilanda kesepian.

 

Guna menangkal hal tersebut, David pun mendaftarkan diri untuk bergabung dengan Video Rendezvous (media semacam Tinder, namun menggunakan kaset VCR) dengan harapan dapat mendapatkan jodoh di usianya yang sudah menginjak 40 tahun. Sayang, keputusan tersebut urung menemukannya pada sebuah tujuan, pun kesempatan seorang wanita yang ingin mengenal dekat dirinya pun harus ia relakan setelah ia memilih berkenalan dengan pria lain.

 

Putus asa, David pun menemukan sebuah kaset VCR bertuliskan "Rent-A-Pal" yang secara tak langsung berhasil ia selundupkan. Pulang ke rumah, ia menyetelnya dan mendapati isi rekamannya adalah sebuah obrolan pria bernama Andy (Wil Wheaton) yang menawarkan sebuah pertemanan. Semula ia menganggap sebagai sebuah lelucon, tetapi setelah berlangsung cukup lama, David menemukan dirinya terkoneksi dengan obrolan yang dilontarkan Andy-yang kini merupakan teman satu-satunya yang mengerti David. Aktivitas berupa saling jawab dan permainan Go Fish pun selalu David lakukan bersama Andy.

 

Mudah untuk memahami mengapa David bersikap senang terhadap Andy, karena selama durasi bergulir, Stevenson perlahan memberikan sebuah pemahaman-yang sebelumnya telah ia tampilkan di paruh awal filmnya. David adalah antisosial yang trauma akan masa kecil pula kehidupannya penuh dengan tekanan eksternal yang suram. Ini menjadikan Rent-A-Pal tak ubahnya sebagai sebuah "sesi curhat" dari seorang pria kesepian dan media yang (katanya) sudah berpengalaman dan berniat mengobati sebuah luka lama yang dalam penerapannya menarik untuk disimak. 


Puncaknya adalah ketika impian David terkabul kala panggilan dari Video Rendzevous mempertemukannya dengan Lisa (Amy Rutledge), wanita perawat yang sebelumnya tertarik dengan David. Pertemuan keduanya berlangsung canggung, ketika David yang selalu berada di rumah bertingkah layaknya seorang pria romantis yang membawa bunga untuk sang wanita. Obrolan di sebuah kafe dan berlanjut pada sebuah permainan ice skating membuat keduanya saling terbuka dan saling menerima dengan alasan saling terkesima atas apa yang dilakukan keduanya.


Seiring David mengenal Lisa, membuat tergerusnya pertemanan dirinya bersama Andy. Ini membuat Andy marah karena ia melewatkan permainan Go Fish bersamanya. Dari sini, Rent-A-Pal kemudian menunjukan makna thriller sesungguhnya tatkala toksisitas Andy mempermainkan dan bahkan meracuni pikiran David mengenai pertemanan abadi yang sebelumnya ia setuji-membuat sebuah distraksi moral yang menekan sebuah batas pertemanan. Pun, dengan hanya duduk di kursi dan berada dalam sebuah televisi, aura kekejaman Andy membuat sebuah antagonisasi efektif tanpa harus terlihat wujud berkat permainan mengesankan Wil Wheaton dalam memainakan akurasi meski hanya bermodal setelan rompi.


Memasuki third-act, Rent-A-Pal menyentuh ranah thriller dengan mengedepankan unsur slasher, yang meski tak hadir dalam taraf maksimal, setidaknya berhasil menyulut sebuah ketegangan sederhana. Transisi menuju ini sejatinya melukai narasi akibat penempatan yang kurang memperhatikan timing pula perpindahn kasar meski mempunyai alasan. Pun, dalam penempatannya efektivitasnya sendiri tak terlalu efektif sebagai ajang sebuah solutif.


Saya mungkin mengeluhkan resolusi yang dipilih Rent-A-Pal yang mengeliminasi sebuah kesederhanaan, meski pada dasarnya dalam urusan lain, Rent-A-Pal adalah potret nyata berupa kritisi terhadap diri sendiri yang memilih memendam luka alih-alih menyembuhkannya, pula mengenai keterikatan pada teknologi (yang selaras dengan masa kini) sebagai jalan pelarian dari kehidupan (baca: kesepian). Lebih dominan, ini adalah sebuah kondisi mengerikan apabila perilaku misogini getol diakui dan diamini.


SCORE : 3.5/5

Posting Komentar

0 Komentar