Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

SADAKO (2019)

Mendapat predikat sebagai "Classic Sequel Remaster" lantas tak mengangkat derajat Sadako versi terbaru yang dibuat secara latah oleh Hideo Nakata pasca sebelumnya telah menjelaskan asal-usul sang hantu yang merangkak dari sumur pula keluar dari televisi di Ringu (1998). Pertanyaan "apa yang hendak ditawarkan?" mencuat-yang malah menjadikan Sadako sebagai seri terburuk, menyusul Sadako 3D (2013) dan Rings (2017) yang setidaknya lebih waras ketimbang ini.
 
 
Niatan mulia melakukan sebuah modernisasi tersaji basi berkat keenganan untuk tampil berarti. Kali ini bukan video VHS yang dijadikan medium, melainkan internet-yang mana lebih kekinian pula lebih luas. Potensi bercerita secara layak semestinya terbuka lebar, namun Noriaki Sugihara (Nisekoi: False Love, Avec Punch) selaku penulis memilih jalan malas dalam bertutur, mengenyahkan logika dan melahirkan sebuah tawa yang tak seharusnya terjadi-karena ini bukanlah tontonan berbasis komedi.
 
 
Mayu (Elaiza Ikeda) adalah seorang konselor yang bertugas di sebuah rumah sakit, kali ini, Mayu menangani seorang gadis misterius (Himeka Himejima) yang menurut pihak kepolisian adalah korban kebakaran pula kekejaman sang ibu yang hendak menewaskannya. Pembenaran diperlihatkan di sekuen pembukanya yang mengisyaratkan bahwa sang gadis adalah reinkarnasi dari Sadako.
 
 
Di sisi lain, Kazuma (Hiroya Shimizu) adik Mayu, adalah seorang pria yang berambisi menjadi selebriti internet lewat kanal YouTube miliknya-yang viewers-nya kini semakin menurun. Usaha nekat pun dilakukan, Kazuma hendak merekam kejadian di sebuah apartemen tempat terjadinya kebakaran-yang kemudian turut membawa dirinya pada sebuah petaka pasca secara tak sengaja mengambil penampakan Sadako.
 
 
Dari sini petaka tercipta sekaligus membawa filmnya pada sebuah petaka (dalam menonton) yang tak terkira. Naskahnya hendak membawa sebuah kebenaran yang tak lagi mengejutkan, setelah sebelumnya sudah terlalu kenyang diperlihatkan. Penelusuran kejadian semakin kehilangan nyawa ketika kengawuran semakin diterapkan, menghilangkan ketertarikan sekaligus melelahkan.
 
 
Ya, menyaksikan Sadako adalah sebuah perkara melelahkan yang membuat pikiran seolah tak diperlukan. Suntikan hiburan lewat penampakan Sadako kini tak tampil mengejutkan, pasalnya, sebuah kebingungan patut dipertanyakan. Misalnya, apa sebenarnya modus operandi sang hantu yang tak jelas aturan mainnya selain bisa dikendalikan oleh sang gadis? Semakin membingungkan kala Sadako begitu eksis, ia bisa hadir di dalam sumur, gua, bahkan televisi sebagaimana bentuk sebuah penghormatan materi. Permasalahan bukan dari sana, namun, apa esensi tersebut? Sadako tak memiliki jawaban pasti, selain bersembunyi atas nama jumpscare.
 
 
Terkait jumpscare, kehadiran Sadako kekurangan amunisi guna menyulut rasa ngeri, seperti yang telah saya singgung di awal, kehadirannya banyak menghadirkan tanya pula tawa menggelikan. Puncaknya adalah menjelang konklusi ketika Sadako dan Mayu saling tarik-menarik di dalam kubangan sumur. Kondisi ini menciptakan sebuah kebodohan yang tak ada gunanya selain dimaksudkan menambah bobot dramatik. Sayang, penerapan Nakata salah kaprah.
 
 
Ini berdampak pada esensi seputar okultisme pula keluarga disfungsional yang diterapkan, kehadirannya sebatas menambal lubang-yang tak seberapa potensial. Pun, tatarannya hanya berjalan di permukaan yang nihil sebuah kedalaman. Akibatnya, luapan rasa urung hadir kala film sepenuhnya tak begitu ikut andil dalam pemahamannya. Sudah saatnya, eksploitasi terhadap materi sumber adaptasi novel Koji Suzuki berhenti.
 
 
SCORE : 1/5

Posting Komentar

0 Komentar